Woko Utoro
Dalam hal menulis atau apapun saya selalu belajar dengan siapapun salah satunya kepada guru besar UIN SATU Tulungagung. Kendati beberapa di antara belum face to face soal menulis setidaknya kita bisa memetakan geliat literasi mereka. Saya menyebutnya bahwa tradisi menulis yang dibangun itu memiliki hierarki tersendiri. Jadi kita bisa belajar dari dasar sampai ke puncaknya.
Pertama, saya belajar pada Prof. Dr. Ngainun Naim, M.H.I. Barangkali di fase inilah saya belajar lebih dari cara beliau menulis. Cara di mana menulis dari hal yang paling mendasar. Jika disebut level tentu Prof Naim adalah pondasi awal. Beliau memang terkenal mengajak dengan menulis sederhana dan membebaskan. Apa saja tulis dan tulislah terus. Intinya membiasakan menulis setiap hari.
Bagi Prof Naim mengajak orang menulis itu tidak mudah. Karena tidak setiap orang mengerti arti penting dari tradisi menulis. Maka beliau dengan pendekatan psikologis memberikan trik agar menulis dari hal-hal yang sederhana seperti rutinitas, traveling, khutbah hingga jagongan di warung kopi. Jadi demikianlah menulis sesederhana itu yang mahal adalah kapan memulainya.
Kedua, saya belajar pada Prof Dr Abad Badruzaman, Lc., M.Ag. tentang membaca dan menulis yang berkesadaran. Di fase ini Prof Abad lebih menekankan bahwa menulis itu kewajiban insan akademik. Sehingga karena wajib maka menulis harus ditingkatkan levelnya. Menulis harus menjadi warna dalam hidup. Sehingga dalam hal menulis sudah tidak berlaku lagi untuk diajak seperti anak-anak pada umumnya.
Tidak salah di level ini Prof Abad banyak mewarnai media sosial baik Facebook dan web dengan tulisan yang kaya akan literatur serta wacana. Bagi Prof Abad menulis adalah bagian dari jihad sekaligus tanggungjawab akademik untuk menyemai pengetahuan. Lewat tulisan gagasan bisa disebar dengan spektrum yang lebih luas. Memang begitu tugas seorang pendidik adalah memproduksi pengetahuan. Salah satu cara efektif untuk menebar pengetahuan adalah dengan menuliskannya.
Ketiga, saya belajar menulis dari Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag. Di sinilah level tulisan tertinggi dihasilkan. Bagi Prof Mujamil menulis itu bukan sekadarnya atau sejadinya akan tetapi harus dipikirkan kontribusinya. Kata beliau dalam beberapa kesempatan mengatakan bahwa jika menulis sekadar menulis tentu setiap orang mampu. Penulis jenis itu tentu banyak dijumpai. Maka menulis itu harus dilihat di titik mana masyarakat membutuhkan.
Prof Mujamil memang sudah berada di level produktif dan liberal. Artinya berpikir kritis dan tidak setiap orang mampu memikirkannya. Berpikir lalu melahirkan produk tulisan itulah yang terjadi hanya pada orang kaya akan bacaan. Jadi menulis itu jangan yang sudah banyak ditulis justru sebaliknya. Misalnya beberapa karya revolusioner Prof Mujamil yaitu NU Liberal, Fajar Baru Islam Indonesia (Sebuah gagasan kebangkitan Islam ke II) dan Fikih Sufistik dll.
Intinya dari beberapa guru besar tersebut saya belajar bahwa menulis itu penting, bahwa menulis itu tugas kaum terdidik. Sehingga dari sanalah menulis sesederhana apapun akan memiliki pembeda dengan yang tidak menulis. Mari tradisikan menulis sejak dini.[]
the woks institute l rumah peradaban 27/9/23
Komentar
Posting Komentar