Langsung ke konten utama

Menjadi Juri Lomba Esai




Woko Utoro

Untuk ke sekian kalinya saya didaulat untuk menjadi juri esai. Rasanya tentu menyenangkan dan pastinya menambah pengalaman. Kali ini pelaksanaan lomba esai diselenggarakan oleh Forum Mahasiswa Bidikmisi/KIP Kuliah. Dalam rangka milad ke-12 FMB KIP memasukkan lomba esai sebagai salah satu rangkaian kegiatan.

Tahun lalu acara lomba esai hanya diikuti oleh 4 peserta dan tahun ini lebih dari 20 peserta. Saya bersama dewan juri lain yaitu Bu Rahmawati Mulyaningtyas dan
Pak Arista Nur Rizki tentu mengurasi karya-karya yang keren. Tema yang diambil peserta pun tentu beragam seperti politik, ekonomi, teknologi, dan pendidikan. Tentu peningkatan kuantitas peserta harus disambut baik dan semoga saja mendatang akan lebih banyak dan baik lagi. Akan tetapi sangat disayangkan dari 20 lebih peserta tersebut kualitas tulisannya masih jauh dari harapan.

Adapun kriteria penilaian pada peserta lomba esai meliputi ide atau gagasan, kesesuaian tema, kepenulisan, dan argumentasi. Sayangnya dari kriteria tersebut masih banyak peserta yang belum memahami secara lebih dalam. Akibatnya banyak peserta yang menulis tidak sesuai kriteria penilaian.

Banyak peserta yang saya temui yaitu antara judul, isi terutama fokus kajian sangat jauh dari target awal pembacaan. Ada juga yang menulis terlalu global dan tidak menyentuh tema sama sekali. Bahkan ada juga yang terindikasi copas dan tulisan sekadar jadi. Seharusnya peserta membaca ulang hasil tulisannya sebelum dikirim ke panitia. Termasuk sedari awal memahami secara saksama soal petunjuk teknis lomba. Sehingga hasil tulisan bisa menjadi kontribusi yang baik.

Barangkali peserta ada yang baru pertama mengikuti lomba esai. Sehingga mereka belum berpengalaman bagaimana menulis esai yang baik. Padahal tulisan esai sangatlah sederhana yang terdiri dari struktur pendahuluan atau latar belakang masalah, isi meliputi penjelasan, data, dan argumentasi setelah itu penutup berupa tawaran, refleksi atau kesimpulan umum. Terpenting adalah bagaimana menjadikan tulisan yang kaya akan data atau argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan.

Tidak ada gading yang retak. Walaupun demikian saya tetap apresiasi dari antusiasme para peserta. Mereka telah mencoba untuk belajar lebih utamanya di dunia tulis menulis yang sangat jarang digeluti. Setidaknya saya juga belajar akan ragam inovasi dan kajian sesuai minat dan fokus tulisan para peserta. Saya belajar bahwa semua tulisan peserta dalam bentuk apapun adalah bagian dari proses. Semua adalah karya yang perlu terus diasah agar semakin terampil.

Dengan mengikuti kegiatan seperti lomba esai ini setidaknya dapat meningkatkan kualitas diri. Selanjutnya mengajari kita untuk tidak segera puas diri dan selalu berkontribusi dalam pengetahuan. Karena tugas akademisi tak lain yaitu turut rembug dalam pengembangan ilmu pengetahuan.[]

the woks institute l rumah peradaban 4/9/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde