Langsung ke konten utama

Tentang Jodoh




Woko Utoro

Saya pernah iseng bertanya pada seorang guru tentang asmara dan perempuan. Pertanyaan saya adalah katanya di akhir zaman perbandingan perempuan dan laki-laki yaitu 1:4. Tapi dengan jumlah yang lebih banyak perempuan mengapa laki-laki sulit menemukan pasangannya. Seharusnya menurut logika tak kesulitan menemukannya.

Usut punya usut pernyataan tersebut tidak bisa disamakan dengan logika berpikir matematik. Artinya perihal pasangan 1:4 itu adalah bersifat kuantitatif. Sedangkan perihal jodoh selalu berkaitan dengan kualitatif. Fakta di lapangan memang demikian kadang banyak hal tak masuk akal justru malah masuk akal. Ada perbedaan warna kulit, suku, bahasa atau minat serta passion tapi bisa berjodoh. Ada juga yang baru kenalan bisa melenggang ke pelaminan. Ada yang bertahun-tahun pacaran ternyata jodohnya bersama orang lain. Ada juga yang satu dengan lainnya cocok akan tetapi orang tuanya tidak merestui. Serta banyak lagi kisah serta pola jodoh yang berkembang di masyarakat.

Yang unik yaitu saya pernah dapat cerita dari Pak guru bahwa ada orang yang sudah mapan, tampan, memiliki kendaraan, serta bagusnya hunian tapi belum ada perempuan yang mau. Padahal secara logika semua kriteria itu umum di mana orang menginginkannya. Tapi demikianlah jodoh tak bisa dipaksakan bahkan publik figur sekalipun yang populer ada juga hingga kini belum memiliki pasangan.

Maka dari itu kalangan ahli menyebutkan bahwa jodoh itu seperti potongan puzzle jika belum bertemu potongan lain maka tak akan sesuai. Ada juga jodoh itu ibarat buah masak, jika belum waktunya masak tak bisa diganggu gugat. Jodoh juga ibarat tutup bertemu botol, jika memang sudah tiba saatnya dibagaimanakan tetap saja tidak bisa. Jodoh juga lir ibarat orang memancing. Jadi dapat ikan atau tidak tergantung umpan serta mancing di tempat mana. Jika ingin mendapat ikan terbaik maka harus dengan umpan dan tempat terbaik.

Dari beberapa nasehat jodoh tersebut ada satu yang menarik yaitu dari Habib Umar bin Hafidz. Kata beliau wajar jika dara muda memikirkan tentang jodoh akan tidak wajar jika perihal itu dipikirkan secara ekstrim. Jadi intinya santai saja dan serahkan semua pada sang pemilik alam raya. Habib Umar juga menambahkan jika memilih jodoh selain dari kriteria kecantikan, nasab, harta dan agama pilihan dengan latar iman. Karena dengan keimanan seseorang akan tetap bertahan. Jika dengan nafsu pernikahan sejenak saja akan roboh dan berantakan.

Lantas sudah sejauh mana kita mengetuk sepertiga malam atau bahasa lainnya macul langit. Sudahkah kita mempersiapkan diri secara mental, kedewasaan, iman dan materi jika tiba waktunya. Yakinlah sepandai-pandainya tupai meloncat ia akan ke pelaminan juga.[]

the woks institute l rumah peradaban 29/9/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde