Langsung ke konten utama

Ngobrol Asyik bersama Mahasiswa IAT UIN SATU Tulungagung




Woko Utoro

Sabtu, 23 September 2023 saya mendapat pengalaman menarik bersama mahasiswa Ilmu Al Qur'an dan Tafsir (IAT) UIN SATU Tulungagung. Jauh hari saya diundang untuk mengisi acara talk show kepenulisan bersama Mas Thoriqul Aziz. Tentu kesempatan tersebut saya maksimalkan sebagai sebuah proses belajar.

Ketika datang ke tempat acara yaitu lantai 5 Aula Pascasarjana UIN SATU ternyata di sana luar biasa. Semua di luar dugaan saya dan panitia ternyata pesertanya hampir memenuhi seisi ruangan. Tidak hanya itu semangat peserta juga perlu diapresiasi. Acara tersebut adalah bagian dari pembukaan semarak tafsir tahun 2023 sekaligus membawa tema "Berliterasi dan Menulis dengan Gembira".

Pada sesi awal Mas Thoriq menjelaskan literasi dan turunanya. Mas Thoriq menjelaskan panjang lebar bagaimana literasi bekerja ke setiap sendi kehidupan. Singkat kata bahwa banyak tokoh tafsir seperti KH Sholeh Darat, KH Bisri Mustofa, Prof Hasbie, Buya Hamka, hingga Prof Quraish Shihab adalah sosok yang literat. Selain karena kaya akan bacaan mereka juga produktif dalam menulis. Maka pantas menulis adalah kontribusi pada keabadian.

Di sesi kedua giliran saya tampil. Saya tidak seperti Mas Thoriq yang penuh keseriusan dalam menyampaikan. Saya turun dan berdialog bersama peserta. Bagi saya acara ini bukan seminar melainkan talk show interaktif alias jagong asyik. Maka ketika Mas Thoriq menekankan pada topik literasi, saya justru langsung pada ilmu terapan menulis.

Hasil dari pembacaan saya mengatakan bahwa kesiapan untuk menulis harus diawali dengan tradisi membaca. Karena bagaimanapun juga bacaan adalah amunisi untuk menulis. Saya juga menyampaikan bahwa menulis ada maqam keempat dalam kecerdasan manusia sesudah mendengar, bicara dan membaca. Sedangkan kecerdasan selanjutnya yaitu pemahami dan mengaktualisasikan.

Saya pun menjelaskan pada para peserta bahwa menulis itu semudah bicara. Karena beberapa pakar telah mempraktekkannya dari hal-hal sederhana. Menulis dari hasil mengamati, mendengar atau merasakan. Semua hal bisa ditulis dan terpenting mengerti resepnya. Kita bisa mencoba menggunakan free writing dan ngemil ala Pak Hernowo Hasyim, happy writing atau writing healing ala Pak Muhsin Kalida dan menulis setiap hari ala Omjay alias Dr Wijaya Kusumah.

Demikianlah sebenarnya menulis semudah dan sesederhana itu. Maka kunci dari banyak pakar agar mampu menulis adalah dengan terus mempraktekkannya. Karena satu-satunya cara menghasilkan tulisan adalah dengan menulis sekarang juga. Tulislah dari hal-hal sederhana dan jadikanlah rutinitas. Jangan sampai tidak menulis karena dunia ini terlalu indah jika tidak ditulis.[]

the woks institute l rumah peradaban 26/9/23





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde