Langsung ke konten utama

Risalah Waktu




Woko Utoro

"Waktu itu seperti kanak-kanak tidak bisa diatur. Mereka selalu berlarian ke sana kemari. Waktu tak mau beranjak dan tak segera mandi". Lewat sajak sederhana itu tiba-tiba guru kami Ustadz Nuryani menyampaikan pendapatnya. Beliau menulis, "Waktu itu penuh warna. Pagi kuning, sorenya sudah menghitam. Malam kadang terang, siang begitu penuh awan gelap. Hati-hati dengan waktu. Jagalah ia, agar tak tertatih saat melangkah". Begitulah waktu, Ia nakal. Jika tak memanfaatkan waktu maka seseorang bisa dilumatnya. Atau waktu ibarat pedang jika tak pandai menggunakannya maka akan tersayat.

Bicara waktu memang menarik. Karena waktu akan berkaitan dengan kesempatan. Dalam konteks kita saat ini tentu soal kesempatan hidup dan akan menuju kematian. Waktu memang memiliki relasi dengan mahluk sebagai subjek sosial di muka bumi. Sedangkan Allah itu sendiri adalah sang waktu, maha waktu. Saking pentingnya waktu sampai-sampai Dia yang maha perkasa bersumpah atas nama waktu.

Kita belajar pada beberapa surah yang ada dalam al Qur'an. Surah tersebut memuat sumpah atas nama waktu di antaranya: surah al Fajr (sumpah atas nama waktu fajar), surah ad Dhuha (sumpah atas nama waktu Dhuha), surah al Asr (sumpah atas nama waktu ashar) dan surah al Lail (sumpah atas nama waktu malam) serta surah lain yang memuat waktu.

Menurut Wahidin Saputra, dosen UIN Jakarta mengatakan bahwa sumpah atas nama waktu tersebut secara filosofis menarik dipelajari. Bahwa sejak waktu fajar hingga malam hari waktu terus dinamis, berputar. Sedangkan ketika seseorang tidak memanfaatkan waktu dengan baik maka waktunya telah dibuat mandeg. Sayyidina Ali menyebutkan bahwa manusia akan nampak sadar ketika terbangun dari tidur. Memang selama ini jika mereka ditelan waktu manusia itu dalam kematian atau orang Jawa menyebutnya "mati sajroning urip". 

Mari kita belajar bahwa waktu tersebut serupa usia atau dinamika daur hidup manusia. Misal waktu fajar ibarat fase perenungan di masa muda. Di waktu ini digunakan untuk apa masa muda kita Selanjutnya waktu Dhuha lir ibarat masa dewasa di mana seseorang banyak memberikan sesuatu pada orang lain. Tentu pemberitahuan di masa dewasa berelasi sesuai dengan tanaman di masa muda. Waktu Ashar yaitu memasuki fase dewasa akhir. Seseorang akan merugi di fase ini ketika tidak memanfaatkan karya di masa muda dan tidak berkontribusi di fase dewasa atau waktu Dhuha. Terakhir yaitu waktu malam atau al Lail di mana fase penutup, gelap, hitam juga mati.

Fase terakhir itulah apakah seseorang akan sukses atau bangkrut semua tergantung apakah memanfaatkan waktu sebelumnya yaitu Fajar, Dhuha, dan Ashar. Demikianlah risalah waktu yang membuat kita terus mengingat bahwa hidup ini ada batasnya. Lewat waktu pula seseorang harus terus mempersiapkan diri untuk hidup lebih baik. Karena waktu manusia menjadi tuan atau budak menuju keabadian.[]

the woks institute l rumah peradaban 15/9/23

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde