Langsung ke konten utama

Kaleidoskop Magis(ter)




Woko Utoro

Tidak terbayangkan saya bisa di titik ini. Menyelesaikan program magister Studi Islam selama 4 semester atau genap 2 tahun. Bahkan bayangan akan lulus tepat waktu hampir saja kabur karena di waktu injury time saya berpikir untuk menyerah. Tapi semua tidak terjadi dan saya bersyukur atas nikmat Allah ini. Lewat catatan kecil ini saya akan mengingat proses kuliah S-2 tersebut walaupun nampak sederhana.

Pertama, ketika awal masuk perkuliahan di tahun 2020 di mana saat itu sisa-sisa pandemi masih ada. Hampir full perkuliahan kami dilakukan dengan online dan pertemuan tatap muka bisa dihitung jari. Saya sangat ingat betapa harus bolak-balik warkop demi kuliah karena jantung perkuliahan ada pada wifi.

Singkat kisah, perkuliahan online yang mengandalkan wifi warkop itu saya lalui dengan baik. Walaupun kadang saya tertidur di depan camera perkuliahan. Yang jelas semua saya jalani dengan tanpa hambatan berarti cuma mata saja terasa begitu perih.

Kedua, tak terasa sudah semester 3 dan di sana waktunya memasuki matkul konsentrasi. Kebetulan saya ambil konsentrasi tasawuf hingga akhirnya tiba membuat proposal tesis. Di waktu yang tepat proposal saya di ACC dan mendapatkan dosen pembimbing yaitu Dr Ahmad Zainal Abidin, Lc MA dan Dr Muntahibun Nafis, M.Ag. Akhirnya saya pun melanjutkan proposal tersebut untuk diselesaikan dalam bentuk tesis.

Ketiga, tesis saya berjudul, "Terapi Qur'an Berbasis Kearifan Lokal (Studi Kasus di Jam'iyyah Ruqyah Aswaja Kabupaten Tulungagung)" selesai digarap sekitar satu semester tersisa. Penelitian ini dilaksanakan di Doprayan Karangrejo tepatnya PPTQ Nurul Iman asuhan KH Imam Mustofa dan Gus Mahassin sedangkan ketua JRA diamanahkan pada Ustadz Yudi Syamsidar.

Keempat, walaupun sempat diwarnai drama akhirnya perjalanan tesis menemui titik akhir. Tesis nan sederhana itu akhirnya diujikan di depan penguji di antaranya Prof Dr Syamsu Niam, Dr Ahmad Zainal Abidin, Dr Muntahibun Nafis dan Dr Nita Agustina Nurlaila. Alhamdulillah perjalanan tersebut dilancarkan oleh Allah SWT. Saya lulus dengan predikat baik dan jika revisi itu sudah tradisi.

Kelima, setelah usai ujian saya langsung mendaftar wisuda. Kebetulan saya mendapat gelombang 38 dan karena alasan wisuda penutup di periode Pak Maftukhin maka gelombang pun diajukan ke 37. Saya akhirnya dijadwal melangsungkan wisuda di awal September dengan nomor urut terakhir 124.

Keenam, yudisium dilaksanakan 4 hari sebelum acara wisuda termasuk acara gladi bersih di hari Jum'at tanggal 8 September. Di sinilah salah satu momen hari itu tiba di mana saya masuk jajaran mahasiswa dengan predikat IPK terbaik, 3,85. Tentu rasa haru campur bahagia menyelimuti perjalanan ini. Saya bersyukur dan tentunya akan terus mengawal ilmu sekalipun nanti sudah lulus.

Ketujuh, perayaan tasyakuran digelar di malam hari beberapa jam menjelang wisuda di keesokan harinya. Di momen inilah saya berkumpul bersama warga Dermayu yang kebetulan beberapa di antaranya akan diwisuda. Sebelum acara ini sebenarnya sore harinya saya juga sudah tumpengan bersama teman pondok. Hingga malam itu melengkapi kembali segala rasa yang campur aduk. Hal yang saya pikirkan adalah andai orang tua ada di sini dan rasa syukur tak henti-henti saya kumandangkan.

Kedelapan, puncak wisuda digelar dengan khidmat. Ada sekitar 1446 mahasiswa diwisuda pada siang hari itu. Tentu saya bahagia bisa mencapai momen itu. Kendati pun sebenarnya saya kurang suka akan seremonial. Tapi atas iringan doa dan restu banyak orang akhirnya saya sah diwisuda sebagai magister Studi Islam UIN SATU Tulungagung dengan gelar M.Ag.

Lewat catatan kecil ini tentu saya berterima kasih kepada semua pihak khususnya kedua orang tua, Bapak Dede Nurrohman, Abah Sholeh serta seluruh teman-teman yang telah mendukung saya sampai di titik ini. Saya juga memohon maaf kepada semua orang yang apabila dalam tugas masih banyak kekurangan. Semoga kita bisa saling mendukung dalam kebaikan.[]

the woks institute l rumah peradaban 12/9/23

Dokumentasi:















Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde