Langsung ke konten utama

Serpihan Sore Itu




Woko Utoro

Sore menjelang magrib anak-anak muda menyebutnya senja. Transisi atau peralihan antara siang dan malam yang selalu menyuguhkan keindahan. Aku berjalan melaju dengan motor Astrea yang kecepatannya sederhana. Ku lihat sepanjang jalan drama kehidupan tersaji begitu alami. Di sanalah akhirnya tangan-tangan mungil tak kuasa untuk segera mencatatnya.

Pertama, aku melihat sepasang kekasih sedang berseteru di depan teras masjid. Nampaknya satu di antara mereka menangis dan pasangan lelakinya sibuk meredam air mata. Entah apa yang membuat gadis kekasih itu menangis. Bahkan rasanya si lelaki begitu susah melihat tangisan itu semakin tak terbendung padahal beberapa menit kumandang adzan magrib segera terdengar. Demikianlah kisah sepasang kekasih.

Memang di momen seperti itu tak ada yang lebih khawatir daripada resahnya Qais pada Laila. Bahkan jika resahnya Laila dapat dipikul oleh si Majnun tentu ia akan melakukannya. Sungguh tak ada hal lebih nikmat dari mengorbankan sesuatu untuk yang terkasih. Atau jika pun tangis harus pecah baik itu Qais maupun Laila, mereka akan berusaha saling mengusap air mata dengan tangan kasihnya.

Kedua, saat magrib tiba aku shalat di salah satu masjid besar kota ini. Orang-orang datang ketika seruan adzan berkumandang. Ragam orang dari berbagai kalangan datang untuk tak mau ketinggalan jamaah. Singkat kisah selepas shalat aku terngiang-ngiang oleh pola seorang anak kecil yang menaiki punggung ayahnya. Bagi anak kecil punggung ayahnya adalah kuda-kudaan pertama yang ia naiki. Hal itu tentu mengingatkan kita pada Sayyidina Hasan dan Husein kecil yang menaiki punggung manusia mulia Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Dari tingkah lucu sang anak tersebut tentu aku harus mempersiapkan diri sejak dini. Aku harus mempersiapkan agar punggungku sekuat kuda poni pilihan perang era Yunani kuno atau kuda khas kerajaan Mataram. Aku ingin pundak ku membawa imajinasi anak-anak melewati batas dan potensinya. Aku ingin mereka tumbuh besar dengan kepercayaan diri menatap masa depan cerah.

Ketiga, dalam perjalanan sore menjelang malam itu aku singgah di salah satu makam wali kota Marmer. Di sana ku jumpai seseorang yang tiba-tiba menebak kepribadian lewat aura wajah. Aku tidak tahu hal itu tipuan atau kenyataan berdasarkan ilmu. Yang jelas semua berjalan apa adanya. Orang itu berkisah panjang lebar yang muaranya adalah keluarga. Baginya keluarga adalah segalanya. Akan tetapi ada beberapa hal yang membuatnya berpisah dengan keluarganya.

Kisahnya benar-benar pilu. Karena hartalah keluar yang ia cintai harus bubrah. Padahal terlihat urat di wajahnya menandakan bahwa anak-anak adalah alasan awal dan akhir. Sebenarnya tidak ada kata putus apalagi cerai. Namun semua bubrah ketika problem hidup datang bernama hutang. Hutang membuat persaudaraan pecah. Hutang membuat keluarga bubrah.

Keempat, ketika kepulangan ku ke pondok. Di sepanjang jalan ku lihat para pekerja keras masih setia dengan tugasnya. Seorang petugas parkir masih setia dengan peluitnya. Tukang becak setia menunggu pelanggannya. Hingga nenek tua setia dengan rongsokan yang digendongnya. Tak ada yang lebih tabah dari pekerja kecil seperti mereka. Yang mengais rezeki dari keringat sendiri. Yang berjuang tiada henti demi sesuap nasi. Yang berpikir dunia mengapa sekejam ini.

Tapi mereka manusia sadar diri. Bahwa hidup terlahir dari kerja keras. Bahwa hidup tak boleh mengeluh. Bahwa hidup adalah manembah, hanya bekerja untuk ibadah. Bagi mereka tak ada yang perlu disesali. Semua sudah bagian dari takdirNya. Sekarang tinggal bagaimana kita mensyukuri. Sekarang bagaimana kita sadar bahwa semua akan berakhir. Tak ada yang abadi kecuali Dia yang maha welas asih.

Singkat kisah dari semua perjalanan singkat itu. Air mata ku mengalir tak terasa menyentuh pipi. Lidah ku kelu tak kuasa berkata apapun. Hanya jari jemariku yang tegar, untuk menuliskan semua segala kisah di sore itu.[]

the woks institute l rumah peradaban 3/9/23


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde