Langsung ke konten utama

Tentang Rumah




Woko Utoro

Beberapa waktu lalu kami diundang teman senior dalam acara tasyakuran rumah. Ketika bicara tentang rumah ingatanku melayang jauh. Selain ingat akan rumah di kampung halaman aku juga ingat betapa rumah itu memiliki pelajaran hidup yang berharga. Termasuk mengapa ketika rumah siap huni perlu untuk disyukuri.

Pertama, ingatan rumah berasal dari kata al bayt, bayti, ahlu bait. Dari kata tersebut kita belajar dari bagian tak terpisahkan dengan rumah. KH Taufiq Damas mengatakan melalui berbagai sumber bahwa ahlu bait yang berarti ahli rumah bisa di artikan ke dalam 3 golongan. Ketiga golongan tersebut berarti bagian dari ketersambungan dengan keluarga Bani Hasyim, atau sampai Bani Ghalib dan atau dari keluarga Nabi Muhammad SAW dan istri beliau. Yang menarik adalah terakhir yaitu mereka yang mengikuti Nabi juga bisa disebut ahlu bait.

Kedua, ingatan rumah adalah bagian tak terpisahkan dengan kebutuhan papan. Setelah orang berpikir tentang kebutuhan sandang dan pangan maka rumah adalah bagian dari tujuan utama. Rumah tidak hanya sebagai tempat berlindung tapi sebagai simbol kesuksesan. Kata orang bahwa sukses itu selain soal pekerjaan tapi juga soal mampu membangun rumah sendiri. Jika mereka sudah mampu membangun rumah maka sudah dikatakan sukses. Pada bagian ini anda bisa setuju atau tidak.

Ketiga, rumah tidak selalu berkaitan dengan hunian yang ditempati keluarga tapi lebih dari itu. Misalnya Allah menyebut masjid sebagai rumahnya di muka bumi. Atau Ka'bah, Baitullah sebagai wadah orang berkumpul memenuhi panggilannya. Intinya setiap rumah yang digunakan sebagai ibadah, penghambaan kepada Allah maka itulah rumahnya.

Keempat, rumah mengingatkan kita pada hati. Tidak hanya Baitullah yang dikunjungi oleh jutaan orang dari berbagai penjuru. Hati pun merupakan rumah tempat di mana Allah bersemayam. Bahkan orang Jawa memposisikan hati sebagai rumah rohani, tempat di mana seseorang berkiblat. Jika hati sering dirawat maka rumah akan nampak indah dan sebaliknya rumah hati yang terbengkalai hanya akan membawa petaka. Jangan sampai rumah hati kosong ditinggal pergi penghuninya.

Kelima, terakhir ingatan tertinggi yaitu rumah adalah kampung akhirat. Rumah adalah tempat kembali yang sejati. Jika ingin kembali dengan membawa kabar gembira maka sejak kini harus mempersiapkan diri. Persiapan untuk perbekalan menuju ke sana. Dalam konteks perantau rumah bukan sekadar kembali atau lebih tepatnya berjuang, bertahan tapi berkembang. Demikianlah rumah betapa pentingnya sampai-sampai manusia rela membangunnya.

Setiap peradaban pasti akan berpikir tentang rumah. Bahkan ada rumah yang luar biasa hebatnya yaitu istana. Cuma kita harus tahu prinsip rumah bukan besar atau megahnya melainkan cara merawatnya. Ada pepatah mengatakan, "Rumah bambu yang penuh kerianggembiraan lebih baik daripada Istana megah penuh kemuramdurjaan". Lantas mari kita bertanya bagaimana keadaan rumah kita kini?

the woks institute l rumah peradaban 17/9/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde