Langsung ke konten utama

Belajar Rendah Hati




Woko Utoro

Salah satu output pendidikan pesantren adalah menjadikan santri bersikap rendah hati. Satu dari lima dari syarat berhasilnya menimba ilmu ala Kitab Ta'lim Mutaalim yaitu rendah hati atau tawadhu. Sikap inilah yang akhir-akhir ini harus terus diingatkan kembali terutama pada santri baru. Karena sikap rendah hati sangat penting bagi kehidupan. Lawan dari rendah hati adalah angkuh atau sombong, gumede, besar kepala.

Di pesantren sikap rendah hati adalah yang utama. Bagi penimba ilmu tanpa rendah hati tak akan berhasil. Ilmu menjadi sulit dimengerti dan tertolak. Karena ilmu akan memasuki ruang hati yang luas jauh dari iri dengki. Ilmu adalah cahaya sekaligus menjelma futuh bagi penimba yang hatinya bersih. Maka hadits kebersihan sebagian dari iman dimaknai tidak hanya jasadi, maknawi tapi esensi dan rohani. Sehingga dari itu santri memahami bahwa sebelum ilmu masuki ruang mereka perlu mempersiapkan wadahnya yaitu hati.

Pesantren sejak lama sudah menekankan pada para santri akan keutamaan adab. Adab lebih banyak porsinya daripada ilmu lain salah satunya soal rendah hati. Dalam bahasa sederhana pesantren ingin santri bisa menunduk. Menunduk berarti kepala yang direndahkan, dan hati yang juga ditundukkan. Saking pentingnya rendah hati sampai-sampai sikap ini menjadi ciri orang bertaqwa.

Dalam Ta'lim Mutaalim disebutkan sebuah syair dari Syeikh Ruknul Islam :  
Ø¥ِÙ†َّ التَّÙˆَاضُعَ Ù…ِÙ†ْ Ø®ِصَالِ الْÙ…ُتَّÙ‚ِÙŠ * ÙˆَبِÙ‡ِ التَّÙ‚ِÙŠُّ Ø¥ِلىَ الْÙ…َعَـالِÙŠ ÙŠَرْتَÙ‚ِÙŠ

"Sungguh sikap tawadhu adalah bagian dari sifat orang-orang bertaqwa kepada Allah. Dengan tawadhu, orang yang taqwa akan semakin naik derajatnya menuju keluhuran". Ketaqwaan itulah yang hampir menjadi puncak manusia beribadah misalnya dalam Al Baqarah: 183 bahwa puasa mendidik manusia untuk bertaqwa.

Demikianlah, pesantren juga ingin santri menjadi padi saat ilmu sudah dikuasai. Jangan sampai santri hanya sekadar pintar intelektual sedangkan spiritualnya kosong. Jika sekadar pintar tentu syeitan lebih pintar akan tetapi sombong. Maka dari itu rendah hati adalah pelajaran paling purba yang Allah perintahkan kepada mahluk bernama syeitan untuk bersujud pada Adam. Kesimpulannya sederhana jika manusia tidak bersikap rendah hati maka ia sama dengan syeitan.[]

the woks institute l rumah peradaban 14/9/23

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde