Langsung ke konten utama

Si Bawank Akhirnya Pulang




Woko Utoro

Namanya Anwar Husein Ashari atau saya memanggilnya si Bawank. Panggilan tersebut tak bermaksud merendahkan melainkan bentuk kesayangan. Jarang ada orang yang saya beri nama panggilan tersebut tak lain karena jarak kami begitu dekat. Tapi sebenarnya si Bawank sendiri memiliki nama penanya sendiri yaitu Rawna Huen yang saya sendiri tak tau artinya.

Si Bawank adalah salah satu mahasiswa dari Indramayu yang merantau ke Kota Marmer Tulungagung. Ia mengambil jurusan Ilmu Perpustakaan & Informasi Islam. Jurusan yang menurut saya berani dan memang sepertinya cocok buatnya. Ia memutuskan merantau juga malah lebih berani lagi. Karena keputusan itu tentu tidak semua bisa diambil oleh teman seusianya. Singkat kisah kini perjalanan itu justru telah berakhir. Si Bawank baru saja menamatkan strata satunya.

Saya tentu tidak mengenalnya terutama ketika periode awal mukim di kost/kontrakan komunitas. Setelah periode dua ia memutuskan mondok dan di sanalah ia satu atap dengan saya. Selama lebih dari 2,5 tahun barulah saya tahu sosok si Bawank sesungguhnya. Sosok satu ini unik dan tidak semua orang memiliki kepribadian sepertinya. Karena keunikannya saya tentu merasa perlu untuk menulisnya.

Si Bawank kini sudah pulang kampung setelah dinyatakan wisuda pada gelombang 36 lalu. Tentu ada beberapa hal yang membuat kita kangen padanya. Kita tak akan mendengar adzan khas ala perang di waktu shubuh. Termasuk puji-pujian shalawat nariyah yang nge-pop itu. Atau canda tawanya bersama Ocit dan Hakiem ketika merebutkan kebenaran surga neraka, bumi datar hingga NU dan Muhammadiyah.

Kita juga tak akan melihat lagi momen langka di mana ia suka menunduk sambil mengatakan,"monggo gus". Atau cium tangan yang kadangkala inkonsisten. Selanjutnya kami akan kehilangan donatur tetap penerima sedekah gula, "Mas minta gula". Tapi walaupun begitu saya salut padanya untuk 3 hal. Pertama, tidak gengsi walaupun ke kampus dengan sepeda birunya. Kedua, gaya retorika dan pembahasannya tajam bahkan apa saja bisa dibahas tuntas. Ketiga, ia lulus tepat waktu. Padahal jika diamati ia menghabiskan sebagian hidupnya di depan gadget untuk berdzikir 11 jari. Tapi walaupun begitu apresiasi saya buatnya selalu ada.

Bagaimanapun juga ia adalah pejuang. Bahkan memilih hidup prihatin dengan mengandalkan mie instan adalah senjata khasnya. Sehingga ketika saya berkesempatan berbincang dengan ayahnya, beliau apresiatif. Katanya si Bawank tak pernah meminta sangu selama proses kuliah tersebut. Termasuk ia tak manja untuk selalu minta pulang seperti temanya yang lain.

Bagi saya pribadi di titik itu si Bawank sudah luar biasa. Setidaknya ia telah menaklukkan apa yang telah diamanahkan orang tuanya selama perkuliahan. Kini tinggal bagaimana ia mengaplikasikan segala pengetahuan, ilmu serta pengalaman selama menimba ilmu di Tulungagung ini. Terakhir ketika ia memutuskan pulang kampung Ustadz Nuryani juga menitipkan pesan dan doa semoga ia sukses selalu. Termasuk saya juga berharap ia menemukan jati dirinya yang mungkin hingga kini baru ditemukan separuh. Selamat Wank, salam mie instan.[]

the woks institute l rumah peradaban 5/9/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde