Langsung ke konten utama

Mencari Faktor X




Woko Utoro

Dalam yudisium FUAD 7 September 2023 kemarin ada poin menarik yang disampaikan oleh Prof Dr Mas'ud Said, P.hD. tentang mencari faktor X untuk modal sukses. Apakah faktor X tersebut? melalui catatan sederhana ini saya akan menuliskannya khusus untuk anda. Faktor X tersebut sebenarnya ada di sekitar kita dan sering tidak disadari.

Sebelum membahas faktor X tersebut beberapa hari ini dalam yudisium berbagai fakultas selalu menyinggung attitude sebagai modal utama para wisudawan. Misalnya Dr Dede Nurrohman, dekan FEBI berpesan agar mahasiswa mampu birrul walidain dan menjadi pribadi yang baik. Karena kepribadian yang baik adalah bangunan citra diri sekaligus marketing alami. Dr Rizqon Khammami juga demikian dalam sambutannya bahwa yang utama adalah akhlaknya. Bahkan Prof Arif Maftukhin beberapa bulan lalu juga mengatakan hal yang sama bahwa etika paling utama.

Sama halnya dengan Prof Mas'ud Said kemarin bahwa mahasiswa harus memiliki moralitas yang bagus. Beliau mengistilahkan dengan Giving, Loving dan Caring. Orang itu harus rajin memberi, mencintai atau cinta ilmu, cinta kerja dan saling membantu. Itulah yang justru menjadi poin penting ketika di masyarakat. Karena menurut penelitian bahwa kemampuan intelektual hanya 20% saja dan sisanya adalah budi pekerti luhur.

Memang fakta membuktikan bahwa kadang dunia informal justru dapat menghantarkan pada kesuksesan. Misalnya anda keturunan darah biru atau menikah dengan putra kiai. Anda orang kaya, berpendidikan, memiliki pengalaman, berkharisma dan berjasa. Semua itu adalah faktor di mana kita bisa sukses tentu lewat jalurnya tersendiri. Bahkan beliau mengutip pesan Oprah Winfrey bahwa masa depan bisa dirauh sejak kita mengubah sikap saat ini juga. Intinya kemampuan berpikir positif dan kerja keras dapat menentukan masa depan kelak.

Lantas di mana faktor X tersebut? sebenarnya tanpa menyebutkan poin-poin secara gamlang saya sudah menyebutnya di penjelasan sebelumnya. Tapi jika harus menyebutkan bahwa faktor X tersebut adalah soal spiritualitas atau saya membahasakan dengan tirakat. Sedangkan Prof Mas'ud Said menjelaskan bahwa faktor X tersebut adalah sepertiga malam (tahajud), puasa, sholawat, silaturahmi, sedekah dll. Sekarang kita bertanya sudahkan peduli dengan faktor X tersebut?

the woks institute l rumah peradaban 8/9/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde