Langsung ke konten utama

Serpihan Sore Itu 2




Woko Utoro

Seperti biasa sore itu aku keluar untuk sekadar mencari angin segar. Perjalanan kali ini yaitu Cod dengan tukang kaos yang sudah dipesan 4 hari lalu. Dalam perjalanan tersebut pemandangan sore sudah tersaji dengan rapi. Di sanalah aku juga berpikir tentang hal-hal yang ku resahkan beberapa hari lalu.

Sepanjang jalan itu lalu lalang mahasiswa trendi dan mahasiswa modis mewarnai sore. Tak lupa pula sore menjelang magrib jalanan ramai. Kereta dari arah timur juga nampak melintas. Tak ada yang lebih setia dari rumah gubuknya daripada penjaga palang pintu. Juga tak ada yang lebih tabah dari mahasiswa yang rela antri demi sebungkus nasi plus lauk pauknya. Atau tak ada yang lebih sibuk dari penjual lauk pauk serta penjual pentol dari serbuan pelanggan setia. Sore itu memang indah dan nampak bersemi.

Di sore yang tenang itu aku melihat kembali sepasang kekasih yang berduaan di teras bawah gerbang masjid. Ku lihat sepasang kekasih itu saling menatap satu sama lain di antara pengendara jalan. Entah apa yang mereka perbincangkan selain angan-angan masa depan.

Aku juga berpikir mengapa sepasang kekasih memilih masjid sebagai tempat menuai rindu. Padahal masjid tempat peribadatan kudus bagi umat muslim. Tapi aku sendiri tidak perlu ambil pusing. Memang begitu sejak dulu maqam kasmaran sering melupakan segalanya. Bahwa kita memang telah lama kehilangan logika jika sudah di depan asmara.

Dalam perjalanan itu aku juga terngiang di mana pedagang kaos mencoba memberi ku uang. Katanya sebagai rasa terimakasih sekaligus bersalah karena pesanannya terlambat. Tapi bukan itu yang ku minta. Suasana cair saja sudah lebih dari segalanya. Karena memang kadang amarah membara ketika kita tidak mengetahui hal sebenarnya. Jika sudah tahu sebenarnya kita tak akan mudah berprasangka.

Selanjutnya di perjalanan terakhir sebelum magrib tiba. Aku mampir ke warung Mak Anna. Seperti biasa kami cipika-cipiki karena lama sudah tak jumpa. Seperti umumnya Mak Anna dan sajian khasnya yaitu sambal abang membuat rindu pelanggan. Hal itu mengingatkan aku dengan cerpen Gudeg Yu Siti (2015) karya Sam Edy Yuswanto yang berkisah tentang pelanggan setia makanan khas Jogja terbuat dari nangka muda. Baik Mak Anna maupun Yu Siti, keduanya memang sangat dekat dengan pelanggannya. Maka wajar ketika ketiadaan mereka misalnya tidak jualan pelanggan akan selalu khawatir apakah mereka baik-baik saja atau tidak?

Akhirnya kumandang adzan pun sudah terdengar. Mentari pun sudah pulang ke peraduannya. Aku pun turut pulang menuju pondok tercinta tempat menggantungkan cita-cita. Sore itu benar asyik dan syahdu. Jangan sampai pergi meninggalkan sore tanpa sebuah tulisan, katanya.[]

the woks institute l rumah peradaban 5/9/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde