Langsung ke konten utama

Buku Kentong Subuh: Menggugah Jiwa yang Mati




Woks

Mati sakjroning urip begitulah pepatah Jawa mengingatkan kepada kita sebagai manusia untuk sadar akan siapa dirinya. Apakah diri ini hidup atau sudah mati. Tentu seseorang perlu menelaahnya secara jauh dalam sebuah proses penempaan. Mengetahui diri sendiri tentu tidak mudah seperti halnya menjadi manusia baik perlu tekad kuat dalam memperbaiki diri sendiri.

Seperti dalam pengantar buku ini, Dr. Ngainun Naim menuliskan bahwa menjadi manusia yang baik itu perlu proses pembelajaran yang konsisten. Pembelajaran dalam makna luas tersebut menyiratkan makna setidaknya kita mau membuka hati, memiliki niat yang kuat dalam mengambil pelajaran hidup, dan optimis mampu mewujudkannya. hlm. v. Kebaikan memang perlu diperjuangkan dan jika kita lupa perlulah cermin untuk menyadarkan diri atau alat yang menggugah jiwa supaya terbangun dari tidur.

Buku Kentong Subuh (2021) karya Mas Fauzi ini sepertinya ingin memotret kesan keseharian yang mana masih sering kita jumpai akan tarik ulur dengan sebuah napsu. Manusia memang sejatinya terus berperang melawan diri sendiri. Seperti halnya pada judul buku ini di mana kentongan hadir dalam dimensi yang lebih luas untuk menjadi tanda sekaligus alat membangunkan seseorang dari lelapnya tidur. Kentongan juga sebagai ajaran agar kita berlaku disiplin. hlm. 7.

Selain itu waktu subuh dipilih karena memang pada waktu ini merupakan awal di mana orang-orang muslim beraktivitas. Bahkan dalam sebuah riwayat sangat jelas bahwa perbedaan antara orang muslim dan kafir yaitu terletak pada shalat dan di waktu subuh. Maka pantas jika subuh mengajarkan kepada kita untuk disiplin memanajemen waktu hingga mencapai maqam waliNya.

Buku yang bergenre motivasi dan pengembangan diri ini tentu banyak sekali memuat petuah-petuah hidup yang bercorak tasawuf. Tasawuf atau sufism menjadi ruh dalam isi buku ini karena memang penulisnya merupakan alumnus dari sebuah jurusan tasawuf. Salah satu narasi yang menarik di antaranya yaitu tentang ajaran untuk bersandar hanya kepada Allah. Dulu ketika Nabi Musa AS sakit lalu Allah memerintahkan agar memakan rumput dan akhirnya sakit tersebut seketika sembuh. Lalu di lain waktu sakit tersebut kambuh lagi dan Nabi Musa AS langsung mengambil rumput dan mengobati sendiri. Ternyata apa yang terjadi, sungguh penyakitnya malah tambah parah. Lantas dari kisah tersebut Nabi Musa AS ditegur oleh Allah bahwa kesembuhan mutlak di tanganNya. hlm. 33.

Kisah demi kisah sesungguhnya tengah mengajari kepada kita untuk selalu belajar misalnya agar pola pikir kita berkualitas. Buku ini juga menjelaskan 3 konsep dalam tasawuf agar hidup menjadi bermakna yaitu dengan takholli (mengosongkan diri dari perbuatan buruk), tahalli (mengisi dengan perbuatan baik), dan tajalli (mendapat pencerahan Tuhan). hlm. 93.

Jika kita membaca buku ini tentu akan dapat banyak hal yang diketahui tidak hanya corak tasawuf saja melainkan psikologi, leadership, urgensi ilmu, hingga tema asmara. Asmara dan setangkai puisi menjadi bumbu dalam buku ini yang tentunya sangat bermanfaat sebagai pesan kehidupan di antaranya benar bahwa tugas manusia adalah mempersiapkan diri, soal jodoh itu merupakan cerminan diri. hlm. 172. Jadi untuk para jomblo bersiaplah untuk terus semangat dalam menghiasi diri dengan ilmu dan agama. Jika hal itu sudah melekat pada diri jangan lupa panah disimpan untuk dilesatkan pada waktu yang tepat.

Walaupun buku ini tersusun dari sebuah status Facebook dan blog pribadi penulis setidaknya isi buku ini sangat layak dibaca oleh kalangan orang-orang yang tengah lupa atau bahkan mati suri. Buku ini tidak menggunakan bahasa langit yang sulit dicerna akan tetapi bahasa keseharian yang sangat mudah dipahami. Sekali lagi kita menyambut baik dengan hadirnya buku ini sebagai bahan bacaan untuk terus memotivasi diri agar menjadi manusia yang setia terhadap kebaikan.

Judul: Kentong Subuh (Nasehat Penggugah Hati Yang Kosong)

Penulis: Muhammad Fauzi Ridwan

Cetakan: Pertama, 2021

Penerbit: SMAISGJ Publisher

ISBN: 978-623-94489-1-2


the woks Institute l rumah peradaban 2/6/21

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde