Langsung ke konten utama

Menulis: Merangkai Jalan-jalan Terpuji




Woks

Suatu hari dalam sebuah pengajian kitab Tafsir Jalalain kiai kami dawuh, "sampean lek mondok yo seng mempeng, akehno moco kitab, sebab intine ilmu krono akeh moco, syukur-syukur iso ditulis". Begitulah kiranya pesan beliau yang jika diartikan mengandung pesan agar santri istiqomah, fokus untuk terus mempelajari kitab lewat cara membaca dan lebih dari itu mampu menuliskan intisarinya.

Membaca dan menulis seperti kutukan yang tidak bisa dipisahkan. Jika seseorang hanya menggeluti salah satunya saja rasanya tidak afdol. Karena keduanya saling menguatkan satu sama lainya. Saya termasuk orang yang meyakini bahwa the power of word atau kekuatan kata-kata punya daya dorong yang luar biasa. Lewat kata-kata yang ditulis memiliki efek magis yang bisa menyihir pembaca. Bisa dibayangkan jika hal tersebut digunakan sebagai jalan kebaikan maka segenap kebaikan akan mengalir pula. Sebaliknya lewat kata-kata juga bisa membuat seseorang menjadi buta.

Kegiatan literasi yang sangat erat dengan baca tulis adalah salah satu cara agar manusia beradab. Tentu cara tersebut masih terus dikampanyekan terutama di era arus medsos yang kuat akan godaan ini. Anak-anak dan remaja sudah berapa banyak yang terjebak dalam perangkap dunia game yang candu. Mereka sampai lupa waktu, lupa belajar, lupa makan hingga lupa dirinya sendiri. Orang tua lagi-lagi yang kerepotan bagaimana bisa mencegah atau minimal mengurangi konsumsi gadget berlebihan. Lewat gambaran itulah saat seperti ini kegiatan literasi menjadi tantangan tersendiri untuk terus memainkan peranya.

Jika seseorang sudah memiliki minat dalam dunia menulis selain mungkin saja profit tentu tujuan lain tak kalah mulianya yaitu pengetahuan. Lewat tulisan seseorang bisa merubah pandangan orang yang ketakutan atau sedang mencari jati diri menjadi tercerahkan. Melalui tulisanlah orang bisa dipandu ke arah yang lebih baik. Tentu ragam tulisan sangatlah kaya dan setiap tulisan mengandung misinya tersendiri.

Jika setiap orang menuliskan kisah kegigihannya ketika meraih beasiswa misalnya lalu tulisan itu dibaca orang maka akan ada berapa orang yang terinspirasi lewat kisah tersebut. Atau misalnya orang menulis tentang etika menggunakan gadget lalu jika orang membaca setidaknya tulisan itu ikut serta memberi solusi khususnya bagi mereka yang sering menyalahgunakan gadgetnya untuk hal yang negatif. Atau bisa juga dari seseorang menuliskan sesuatu yang sederhana dalam hidupnya maka orang lain ada yang mengikuti jejaknya dan hal itu lebih baik dari sekedar rasan-rasan tak tau arah. Bisa jadi tulisan tersebut menjadi jariyah kebaikanya.

Melalui menulis banyak hal yang akan kita dapatkan, selain pengetahuan baru tulisan pun mengajak seseorang mendapat teman baru dan yang terpenting adalah kita punya sikap mental untuk membuat pencerahan. Memiliki sikap semangat untuk terus memperbaiki moralitas dan turut dalam memajukan masyarakat. Jika setiap orang atau penulis memiliki cita-cita mulia seperti itu lantas apakah tidak mustahil kita mampu menciptakan iklim literasi yang literat di masyarakat. Rasanya memang demikian akan tetapi semua butuh proses yang panjang jika hanya saya seorang diri tentu kemungkinan sangat kecil maka dari itu saya butuh Anda untuk mewujudkannya bersama-sama.

the woks Institute l rumah peradaban 10/6/21


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde