Langsung ke konten utama

Prinsip Kerja Masyarakat Desa




Woks

Kemarin saya mendapat agenda sambatan dari seorang teman yang sedang membuat rumah. Kebetulan agenda hari itu adalah nebang pohon bambu dan ngecor pondasi rumah agar kokoh dan tahan lama. Saya pun turut serta mengikuti apa titah mandor untuk sekedar membantu atau mengerjakan sesuatu. Pekerjaan sejak menghimpun bambu, memotong papan, menimba air hingga membawa adukan semen saya lakukan dengan asyik.

Sambatan adalah istilah di desa untuk menyebut minta tolong dengan suka rela. Pertolongan sukarela dari tetangga dan sanak saudara memang masih kita jumpai di desa. Hal itulah yang menjadi keunikan bahwa sambatan memang murni tak dibayar kecuali diberi makan dan camilan.

Sambatan sangat erat dengan prinsip kerja yang berkembang di desa sejak lama. Sistem kerja di desa biasanya di mulai sejak pagi sekitar pukul 7 tepat hingga waktu asyar tiba. Biasanya untuk memulai sebuah pekerjaan, misalnya membangun rumah maka si tuan rumah akan melakukan genduren atau tradisi syukuran jelang rumah mulai penggarapan. Setelah itu orang akan sarapan pagi lalu mulailah aktivitas kerja tersebut.

Prinsip kerja orang desa jika kita tahu tentu sangat unik yaitu lebih banyak istirahatnya ketimbang kerjanya. Mengapa hal itu bisa terjadi? bukankah dalam prinsip kerja kapitalis sangat merugikan. Tentu di sinilah letak perbedaannya di mana orang desa lebih mengedepankan sistem gotong-royong dan kekeluargaan. Orang desa tentu mengutamakan kerukunan daripada kerja ala perusahaan yang saling sikut-sikutan.

Kerja di desa lebih banyak diselingi istirahat, makan, dan candaan. Kerja di desa tidak setegang di pabrik yang penuh dengan peraturan. Maka tak salah jika sistem kerja sambatan tidak mengedepankan target tertentu misalnya harus selesai tanggal sekian, tapi lebih kepada penyesuaian waktu. Sistem kerja sambatan akan dilakukan secara bergantian ketika tetangga lainya memiliki hajat yang sama, misalnya tetangga A suatu saat pasti akan ikut dalam kerja sambatan ke tetangga B dan seterusnya.

Tentu sistem kerja sambatan ala masyarakat desa tidak bisa diterapkan di perusahaan atau sebuah instansi yang formal jika pun ia pasti akan kacau. Sambatan hanya dapat dilakukan sebagai sistem kerja masyarakat desa yang notabene beriklim sosial paguyuban. Tanpa rasa gotong-royong yang kuat sistem kerja sambatan tak akan mungkin bisa dilakukan apalagi hanya modal ikhlas-ikhlasan.

the woks Institute l rumah peradaban 9/6/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde