Langsung ke konten utama

Resensi Buku Suluk Rante Sejati





Woks

Buku "Suluk Rante Sejati" karya Ibnu Shobari alias Ahmad Kamali Hairo merupakan buku tipis tapi tebal makna. Buku yang terdiri dari 48 halaman versi buku cetak dan 22 halaman versi naskah asli. Buku ini banyak berisi petuah hidup yang sarat akan makna. Sesuai dengan judulnya buku ini sarat akan nilai-nilai filosofis khususnya dari budaya Jawa.

Buku ini memuat penjelasan singkat atau lebih tepatnya internalisasi dari petuah Ki Buyut Rante sekaligus versi naskah aslinya. Ki Buyut Rante nama lainya adalah Ki Wirayudha/Syeikh Anwar Musyadadad yang merupakan penyebar agama Islam di daerah Pondok Pari (sekarang Kenanga) masih bersambung sanad secara keilmuan kepada Pangeran Cakrabuana dan Sunan Gunung Djati.

Sekilas Ki Wirayudha merupakan tokoh yang membabad dukuh (dulu) Pondok Pari Tuah Rante. Istilah tuah berubah secara dialek menjadi tuan, tuah berarti kesaktian karena Ki Wirayudha memiliki pusaka rante yang digunakannya ketika membabad pedukuhan dalam waktu semalam. Sedangkan kata “Tuwah Rante” sendiri bermakna secara filosofis yaitu seseorang yang memiliki keistimewaan kompetensi dalam menyambung tali silaturahmi dengan orang-orang shaleh. (Blog Kamalisme Institute).

Buku ini memuat isi berupa nadzoman dan puisi yang terdiri dari 6 pasal menjelaskan seputar, dzikir pujian, adab bertetangga, tradisi marhabanan, adab pergaulan dan wasiat rante sejati. Buku ini juga memuat tentang mukadimah di mana penulisnya menyematkan ungkapan syukur seperti dalam pembukaan kitab kuning pesantren.

Buku yang dalam versi aslinya berjudul "Wasiat Rante Sejati Fii Bayani Dzikir Pujian Wa Adab Bertetangga Wa Marhaban Wa Akhlak Pergaulan Tsumma Syi'ir Jawen Wasiat Rante Sejati" diberi pengantar oleh Prof. Dr. Jamali Sahrodi, M.Ag, Direktur Pascasarjana IAIN Syeikh Nurjati Cirebon. Beliau memberi apresiasi bahwa karya dalam buku ini layak untuk dibaca khususnya bagi mereka para salikin, orang yang dalam pencarian kearifan dan suluk.

Dalam pengamatan saya, buku yang naskah aslinya ditulis dalam aksara arab pegon ini sangatlah mudah dipahami. Bahkan ketika kita membacanya banyak di antara petuahnya terpengaruh wasiat Sunan Gunung Djati yang terkenal yaitu "ingsun titip tajug lan fakir miskin". Hal itulah yang mengilhami Ibnu Shobari menuliskan apresiasinya yang dinisbatkan untuk Ki Buyut Rante yang ada di desa tempatnya tinggal.

Seperti yang dijelaskan di muka bahwa isi buku ini menarik di antaranya seperti dalam pengantar Prof. Dr. Jamali sangat relevan di era milenial ini.

Kita sedih ana tajug pada sepi // Yen ning tipi pada kebek ora lali (hlm 7)

Relevansi dengan keadaan saat ini tentu sangat jelas, jika dulu TV menjadi syahwat yang membuat orang tidak rajin ke masjid untuk sholat saat ini digantikan oleh gadget. Apalagi dalam keadaan pandemi peraturan dan keadaanlah yang membuat orang seperti dilarang ke masjid. Hal inilah yang sejak dulu sudah diprediksi bahwa semua hal yang bersifat hiburan pasti akan dicari manusia. Padahal dulu Rasulullah menyatakan bahwa shalat adalah hiburanya.

Ironisnya lagi permasalahan masjid memang telah menasional. Artinya apa bahwa fakta di lapangan membuktikan bahwa masyarakat Indonesia sangat rajin membangun masjid sedangkan untuk memakmurkannya belum tentu. Bisa kita buktikan banyak masjid musholla yang terbengkalai karena ditinggal jamaahnya. Maka tidak salah jika Sunan Gunung Djati berpesan untuk memakmurkan masjid (tajug).

Sapa wonge pengen surga ana mahare // Ning Barzanji maca shalawat mas kawine // Kita muslim aja melu ning wong kang ngomong // Yen Marhaban iku bid'ah ingkang kosong // Kita yakin Gusti Allah kang ngridhoni // Ning mahluke kang melu Kanjeng Nabi (hlm 7)

Salah satu fenomena yang kian marak adalah ketika Islam konservatif transnasional dengan mudah menuduh amaliah di luar mereka sebagai bid'ah. Bahkan kaum takfiri masih sering kita jumpai utamanya ketika membahas maulid. Bagi orang desa kegiatan muludan atau pembacaan Berzanjen justru menjadi sarana mahabbaturrasul. Maka dalam syair tersebut mengingatkan bahwa soal kebenaran adalah mutlak milik Tuhan.

Ki Buyut Rante sampun ridho // Kita kabeh anak cucune // Syarate mung siji // Aja gawe megot silaturahmi // Maring menusa lan lian-liane (hlm 10)

Pesan Ki Buyut Rante sangatlah penting untuk kita ingat yaitu tentang memperbaiki hubungan antara sesama tetangga. Selain itu menjadikan silaturahmi bukan hanya sebagai tradisi tahunan tapi sebagai laku hidup sehari-hari. Tentu kita tahu bahwa silaturahmi merusak tuntutan agama. Orang bersalah kepada Allah bisa sangat mungkin diampuni karena Allah maha luas pengampunanya, tapi kesalahan kepada manusia belum tentu dapat maaf. Maka benar bahwa ajaran silaturahmi sangat besar nilai dan maknanya. Oleh karena itu teruslah perbaiki hubungan dengan sesama dalam ajaran Jawa dikenal memayu hayuning bawana.

Naskah yang selesai ditulis pada malam Ahad 25 Ramadhan 1436 H di Musholla Nurul Muslim Tuan Rante itu tentu sangat relevan dan bisa menjadi peta kearifan yang terus kita susuri sebagai sebuah pengingat bahwa di zaman ini banyak hal yang terkikis dari kehidupan masyarakat.


Judul buku : Suluk Rante Sejati (Antologi Syair-syair Jawa)

Penulis : Ahmad Kamali Hairo

Cetakan : Pertama, 2017

Penerbit : CV. Mudilan Group Badung Bali

ISBN : 978-602-50615-1-6

the woks institute l rumah peradaban 25/6/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde