Langsung ke konten utama

Lautan Jilbab, Buih dan Tantangannya


Cak Nun atau Emha Ainun Nadjib dalam sebuah pagelaran Maiyah


Woks

Kita mengingat drama kolosal lautan jilbab karya Cak Nun di pentaskan di mana-mana. Tahun 1976 menjadi perjuangan Cak Nun dan kawanya untuk memperjuangkan hak pribadi salah satunya soal jilbab. Dulu orang berjilbab sangat minim bahkan bisa dihitung jari. Bagi Cak Nun perjuangan tersebut bukan soal secarik kain penutup kepala bernama jilbab tapi perjuangan atas hak pribadi seseorang yang dikebiri.

Cak Nun bersama grup gamelan Kiai Kanjeng atau kawannya sesama seniman mungkin sekumpulan orang yang besar jasanya sekaligus paling mudah dilupakan. Padahal perjuangan lautan jilbab dalam sebuah pentas drama teater sangatlah bertaruh nyawa. Akan tetapi biarlah sejarah yang membuktikan bahwa Cak Nun sendiri tidak ingin dikenang sebagai pahlawan ia hanya ingin menegaskan kepada setiap orang bahwa perlu untuk terus memperjuangkan hak di atas sebuah keadilan.

Cak Nun bercerita bahwa gerakan Masjid Shalahuddin UGM Jogja dan Masjid Salman ITB Bandung menjadi saksi bahwa gerakanya serius dan tidak main-main. Ia berkisah bahwa dulu aktivis hilang dan mondar-mandir ke penjara sudah biasa. Belum lagi ada petrus (baca: penembak misterius) dan lainya menjadi momok yang menakutkan bagi setiap aktivis tapi tidak bagi Cak Nun katanya ia terlalu besar dari penjaranya bahkan bisa jadi jebol jika ia masuk.

Cak Nun pernah bertanya pada panitia bahwa pembacaan puisi dan teater drama kolosal lautan jilbab tersebar justru bukan di Jogja melainkan di Madiun dengan total penonton 35 ribu orang. Di zaman itu pengumpulan masa demikian banyaknya tentu tidaklah mudah tapi inilah sejarah barangkali orang datang karena kesamaan rasa satu sama lain. Tapi sangat disayangkan kata Cak Nun jika Islam memiliki rekor pasti tak akan dicatat oleh MURI dan Cak Nun sendiri tidak ingin memelas untuk memintakan itu, katanya ibarat profesor meminta tanda tangan pada guru TK.

Singkat kata kini doa lewat puisi Cak Nun itu diijabah oleh Allah bahwa Indonesia sekarang sudah dipenuhi lautan jilbab. Perempuan sudah lenggak-lenggok dengan jilbabnya tanpa takut dipecat oleh perusahaan tempatnya bekerja. Mereka juga tak perlu takut untuk dikeluarkan dari sekolah karena pakai jilbab tentu ini anugerah yang sangat besar untuk terus disyukuri.

Terutama melalui Masjid Shalahuddin UGM dan Masjid Salman ITB yang menjadi pelopor gerakan diskusi intelektual mahasiswa pertama, dakwah berbasis masjid dan yang tak boleh dilupakan adalah lautan jilbab. Saat ini jilbab sendiri tidak hanya menjadi identitas perempuan Indonesia tapi juga menjadi identitas muslim Indonesia.

Orang-orang perempuan dari yang muda hingga tua sudah memakai jilbab apalagi saat ini banyak ragamnya. Jilbab kian hari makin fashionable bahkan menjadi mode yang dicari kaum perempuan. Dulu sempat kontroversi terkait penggunaan jilbab yang katanya tidak sesuai syariat termasuk peperangan merk jilbab di mana-mana. Tapi mereka alpa dengan siapa yang selama ini memperjuangkan jilbab masif di mana-mana. Mereka hanya tau soal budaya konsumtif tanpa melihat esensi di baliknya.

Barangkali ke depan bisa sangat mungkin orang akan terus memikirkan tentang object buying, berkongsi secara kapital untuk meraup keuntungan lewat jilbab atau bisa jadi semua kebutuhan muslim. Selain kapitalistik tantangan ke depan orang berjilbab tentu bukan sekadar identitas dirinya muslim melainkan melihat esensi lebih-lebih mempertanggungjawabkan keputusanya. Selama ini jilbab, cadar, niqob atau identitas lainya dianggap sebagai penunjang kemurnian beragama seseorang. Lebih ironis lagi hampir dari semua pelaku tindakan teroris perempuan mereka mengenakan jilbab. Hal inilah yang menjadi tantangan untuk mengembalikan lagi jilbab sebagai sebuah busana tanpa embel-embel apapun.

Semoga saja ke depan semakin banyak orang berjilbab maka semakin banyak pula yang sadar akan jati dirinya. Jilbab menjadi akar budaya sekaligus memberi pelajaran bahwa ia bukan sekadar busana tapi guru tentang sesuatu yang privat, sebuah hak, gerakan perjuangan dan identitas hakiki dari perempuan yaitu dikasihi menyanyangi.

the woks Institute l rumah peradaban 19/6/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde