Langsung ke konten utama

Ikatan Cinta dan Simbolik Dalam Tradisi Temoan




Woks

Siapa yang tidak tahu dengan sinetron Ikatan Cinta, dari anak-anak hingga orang sepuh semua tahu sinetron yang satu ini. Sinetron yang diperankan oleh Aldebaran alias Arya Saloka dan Andin alias Amanda Manopo sempat booming dan menjadi idola masyarakat terus di tengah pandemi. Ceritanya yang merakyat dan penuh intrik menjadi daya tarik tersendiri. Maklum dari dulu kisah seputar sosial dan rumah tangga sangat laku di masyarakat.

Konflik antara keluarga Mas Al dan Andin karena gangguan Elsa, termasuk Mas Al yang khawatir Andin kembali ke Nino atau juga kasus di mana Nindy ternyata Reyna menjadi sangat membingungkan dan membuat penonton penasaran. Sekilas tantangan rumah tangga Mas Al dan Andin memang akan selalu terguncang karena musuh jelas di depan mata. Maka dari itu sinetron keluarga ini akan mengalami serangkaian permasalahan sekaligus jalan keluar sesuai dengan penggambaran judul. Apakah mereka terus membuat ikatan tali cinta, jika kekuatan itu semakin erat maka permasalahan sebesar apapun akan terlewati istilahnya "badai pasti berlalu".

Melihat Keluarga Lewat Sebuah Lagu Temoan

Kita tahu temoan adalah salah satu tradisi masyarakat Pantura khususnya Dermayu dan Cerbon. Dua daerah ini sangat sering menggelar pesta hajat yang di sana diisi beragam hiburan di antaranya Sintren, Tarling, Sandiwara, hingga Arak-arakan Singa Dangdut.

Lagu Penganten Baru ciptaan Haji Abdul Adjib pada 1995 itu menjadi lagu wajib setiap acara temoan (bertemu) dalam sebuah acara kawulan atau nadzar baik resepsi pernikahan ataupun khitanan. Lagu tersebut menggambarkan bahwa awal dari sebuah pernikahan adalah penuh diwarnai bunga-bunga asmara yang semerbak mewangi. Akan tetapi namanya pengantin baru seiring berjalannya waktu akan menemui masalah juga percis seperti penggambaran keluarga Mas Al dan Andin.

Mari kita resapi penggalan lirik dalam lagu penganten baru berikut ini:

Pantes di sawang wadon lan lanang si penganten
Manis meseme karo semahe gawe bungah
Mendadene-mendadene yen mlaku iring-iringan

Begitulah kiranya penggambaran yang apik dari H. Abdul Adjib bahwa bagaimana pun pengantin memang seperti raja ratu yang jika dilihat dari berbagai sisi tampak begitu serasi. Apalagi jika sudah bersanding bersama, saling berjalan beriringan tampak penuh dengan kebahagiaan. Itulah yang dalam bahasa agama membentuk sakinah setelahnya baru mawaddah dan warrahmah.

Kamajaya Kamaratih pribasane
nyenengaken ning kang dadi mertuane

Bhatara Kamajaya dan Bhatara Kamaratih
putra Hyang Ismaya dan putri Hyang Soma. Mereka menjadi lambang kerukunan keluarga karena mereka tinggal di khayangan. Berbeda dengan Arjuna dan Sinta, Kamajaya dan Kamaratih justru sangat dekat dengan masyarakat Jawa terutama di saat tradisi mitoni. Biasanya orang-orang akan menyediakan kelapa gading yang digambar tokoh tersebut harapanya tentu bisa seperti mereka yaitu hidup rukun dan penuh keharmonisan.

Jika bangunan rumah tangga dapat dipahami dengan penuh pengertian dan perhormatan maka tidak hanya mertua tapi keluarga secara umum pun akan menyukainya. Membangun keluarga yang harmonis tentu tidak mudah perlu sikap kedewasaan dari masing-masing pasangan. Apalagi jika sudah memiliki anak pasti tantangan ke depan hadir dan mewarnai. Kamajaya Kamaratih memang dipilih sebagai simbol bagaimana kerukunan dalam rumah tangga adalah hal utama yang harus dibangun.

Penganten baru plesiran sampe seminggu
lanange gagah wadone prawan pasangane
dadi jodone seneng uripe sugih dunya

Terakhir sebagai penutup perlu diingat bahwa setiap hal ada masanya alias batas waktunya. Pengantin baru pun demikian tidak terus-menerus larut dalam kebahagiaan. Ada saat di mana kedua pasangan tersebut harus memperhatikan dan mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang. Sebab "jejodoan" atau jodoh itu tergantung kondisi kita yang menciptakan artinya jika ingin bahagia selalu lah bersambung, jalin komunikasi yang baik, hadapi masalah bersama, bersikaplah dewasa, jangan saling menyalahkan, ambilah jalan tengah, ajaklah diskusi, ambil yang prioritas dan pastinya bukan menang-menangan.

Yakinlah bahwa baik Mas Al, Andin atau siapapun itu jika mereka selalu mengingat cinta pada porsinya maka mereka akan melewati semua masalah yang ada. Ingat jangan terlalu membenci dan jangan pula terlalu mencintai. Karena cinta atau benci bisa berpotensi menjadi penyakit diri dan yang paling mengerikan seperti dalam sebuah film yang lebih mengerikan bukan kekerasan tapi bersikap dingin dan tak peduli.

the woks Institute l rumah peradaban 16/6/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde