Langsung ke konten utama

Pertemuan




Woks
Pertemuan yang ku impikan kini jadi kenyataan. Pertemuan yang ku dambakan ternyata bukan khayalan.

Begitulah penggalan syair lagu pertemuan milik Bang Haji Rhoma Irama yang dilantunkan Noer Halimah. Liriknya sangat mengena dan pas untuk menggambarkan keadaan psikologis seseorang yang tengah merindu. 
Begitulah kiranya bahwa pertemuan adalah musim panennya para perindu.

Tak hanya Bang Haji Rhoma, Ebiet G Ade punya punya kesan tersendiri bahwa saat bertemu atau berpisah sama-sama nikmat. Demikianlah baik kerinduan ataupun pertemuan telah dilukiskan oleh para seniman bahwa dua momen itu memiliki value sangat dalam. Bertemu saat lama berpisah memang ibarat padang pasir yang disirami hujam seketika basah oleh rasa haru.

Manusia memang selalu punya cerita tentang pertemuan atau lebih tepatnya selalu sering berpisah karena berbagai hal seperti kerja, pendidikan hingga pindah status karena pernikahan. Semua hal dalam hidup bisa sangat mungkin terjadi sekalipun ada orang yang fanatik dengan kampung halaman. Pada akhirnya perantau dilahirkan bukan karena kamus tapi sebab jalan hidup yang mesti dijalani. Oleh karena itu barangkali mudik adalah sarana pertemua paling unik dalam tradisi masyarakat Nusantara. Sehingga kurang afdol jika ada perpisahan pasti ada pertemuan.

Bertemunya dua orang teman yang lama tak bertegur sapa adalah kenikmatan tersendiri dan hal itu amat besar harganya. Pertemuan yang singkat tidak bisa dibandrol dengan harga apapun sehingga kesan bertemu di saat itu wajib. Tidak penting seberapa lusuhnya diri kita dihadapan orang yang jelas dengan pertemuan kita nampak elegan. Sebab pertemuan tersebut tidak dinilai seberapa bagus pakaian, seberapa tinggi jabatan atau seberapa kesuksesan yang jelas di mata pertemuan semua hal itu sama. Kesamaan itulah yang justru diikat oleh tali rindu, rasa ingin tahu, dan rasa ingin berbagi kisah. 

Saking nikmatnya bertemu Ebiet G Ade melukiskan bahwa walaupun hanya sekedar engkau tersenyum itu saja sudah cukup. Itu artinya pertemuan bukan soal waktu yang lama justru sekedar melihat seseorang tersenyum pun itu lebih dari segalanya. Momen kehangatan saat pertemuan memang memiliki pesan tersendiri 
sehingga sesibuk apapun seseorang, pertemuan adalah barang langka yang harus diwujudkan.

Lebih jauh lagi pertemuan yang tidak bisa ditolak yaitu saat di mana kita sowan, bertemu sang maha cinta di keabadian. Sudahkah kita mempersiapkan bekal bertemu sang kekasih?

the woks Institute l rumah peradaban 3/6/21

Komentar

  1. Berdoalah agar kasing sayang Tuhan selalu menyertai, sehingga kebahagiaan kian kita temui. Tak usah kau hiraukan aku, karena Tuhan lebih tahu cara membahagiakan aku.
    Salah satu kebahagiaan Tuhan yg hari ini kurasakan adalah pertemuan yg tak direncanakan.
    Belakangan aku lebih menyukai bermunajat : Wahai Rabb yang Maha Pengasih di atas Kasih, bimbing dan ridhai setiap langkah munafik q, semoga Huda sudi Kau percikkan dalam kehinaan ini.
    Salam rindu dari kemunafikan asmara.




    Nglantur. Com. Hahahaha

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde