Langsung ke konten utama

Menggagas Warkop Sufi




Woks

Makin hari kota Tulungagung penuh sesak oleh keberadaan warkop alias warung kopi. Warkop mulai dari kopi yang sederhana harga 2000 rupiah hingga puluhan ribu semua ada di sini. Tidak hanya itu warkop pinggiran jalan hingga yang instagrameble sangat mudah ditemui, setiap beberapa meter pasti ada warkop. Usaha warkop kini sangat menjanjikan bahkan kita tidak tahu selama kopi menjadi komoditi idola sampai itu pula warkop akan terus berjamuran.

Saya sebagai orang awam sampai kehabisan pikiran mengapa orang dengan mudah buka usaha warkop. Apakah karena memang omsetnya menjanjikan atau memang melihat pasar bahwa di sini mayoritas orang suka ngopi. Tapi sejauh yang saya pahami ternyata usaha warkop memang sangat fleksibel cukup modal lahan beberapa petak lalu siapkan tempat, pasang wifi, kopi instan di tambah hiasan sedikit jadilah warung kopi yang pasti tak kehilangan pelanggan.

Warkop yang paling sederhana pun pasti memiliki pelangganya sendiri. Apalagi warkop yang selain menjajakan kopi mereka juga menyediakan pelayanan yang nyaman. Selama ini pelayanan dan kenyamanan merupakan warkop yang diburu pelanggan milenial istilahnya pun coffee shop, atau bahkan langsung brand produknya.

Akan tetapi warkop dalam bentuk apapun tak bisa menghindar dari dosa jariyah. Dosa jariyah dihasilkan dari pelanggan yang beraneka ragam itu. Sehingga jika ada pelanggan yang berbuat maksiat di warkop maka si penjual akan kebagian imbasnya, tapi apakah demikian? bukankah setiap tempat memiliki potensi yang demikian?

Dari pernyataan itulah seseorang menawarkan bagaimana membuat warkop yang meminimalisir perbuatan yang tidak diinginkan. Warkop yang mereka maksud adalah warkop sufi, lantas seperti apa warkop tersebut mari kita ulas penjelasannya.

Pertama, warkop tersebut memiliki desain berupa interior yang berisi hiasan foto tokoh sufi seperti Imam Ghazali, Syeikh Abdul Qadir Jaelani, Jalaluddin Rumi, Rabiah Adawiyah, Hasan al Bashri, Syeikh Siti Jenar dll, termasuk hiasan lain berupa kaligrafi dan banyak lagi. Desain eksterior pun dibuat mirip seperti rubath orang-orang akan berdzikir sehingga kesanya ngopi di suasana yang berbeda. Selain itu aroma terapi berupa wewangian khas timur tengah akan membawa kesan magis.

Kedua, selain suasana warkop yang unik di sana juga tersedia segala macam menu kopi dan makanan ala timur tengah termasuk makanan ala orang Jawa seperti gatot, tiwul, apem dll. Kolaborasi menu timur tengah dan Jawa menandakan bahwa dua kutub bangsa ini sama-sama memiliki peradaban sufisme yang kaya. Makanan dan minuman di sini pun dihidangkan dengan alat dan bahan alami yang pastinya ramah lingkungan.

Ketiga, estimasi harga pastinya terjangkau. Yang terpenting adalah di warkop ini orang akan diingatkan dengan adanya alarm jam waktu shalat dan kalam hikmah para ulama. Tujuanya satu yaitu agar pengunjung merasa bahwa di warkop ini tidak hanya melulu soal kopi tapi soal etika dan peribadatan.

Keempat, warkop ini juga menampilkan berupa seni musik Islam, tari sufi, membuat kaligrafi dan lainya. Termasuk juga belajar bagaimana mendalami Islam dengan berbagai fasilitas berupa bimbingan ruhani, talk show sufi, hingga short course.

Kelima, warkop ini pastinya memberikan pelayanan yang ramah dari para karyawannya. Karena pelayan tersebut telah disesuaikan dengan akhlak yang dipelajari dari para sufi.

Begitulah kiranya gambaran dari warkop sufi, lalu selanjutnya kita berpikir apakah yang demikian itu bisa terwujud? Entahlah yang jelas semua hal bisa saja diimajinasikan. Selagi imajinasi itu gratis selama itu pula bolehlah mengkhayal yang memang idenya berawal dari sesuatu yang nyleneh. Kira-kira jika warkop sufi benar-benar ada apakah ada pelanggan yang datang berkunjung? hehe

the woks Institute l rumah peradaban 4/6/21


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde