Langsung ke konten utama

Kelas dan Tradisi di Akhir Tahun




Woks

Sepanjang tahun anak-anak menampilkan beragam ekspresi ketika mereka di sekolah, umumnya anak akan merasa senang karena dapat bertemu dan bermain bersama teman-temannya, akan tetapi selama pandemi ini gerak langkah mereka terhenti. Anak merasa terus diawasi oleh orang tua karena pandemi belum berakhir. Padahal di lapangan pandemi ini tidak begitu menyeramkan.

Akhir tahun tentu waktu yang tepat buat berlibur inilah yang ditunggu anak-anak. Sekolah baru saja masuk lalu secara tidak sadar sudah libur kembali. Sebelum berlibur anak-anak akan melewati satu tradisi yaitu bagi rapot alias menerima hasil penilaian sekolah. Dulu sebelum bagi rapot ada satu tradisi yang tak boleh dilupakan yaitu bagi tabungan.

Tradisi bagi tabungan tentu sangatlah menyenangkan karena pada saat itu anak merasa sangat kaya. Anak-anak sampai lupa bahwa uang tabungan itu milik orang tuanya. Saat ini kepercayaan dengan menabung di wali kelas dalam sekolah semakin menurun karena kian hari kita menjumpai kasus penggelapan uang siswa oleh gurunya sendiri. Akhirnya tradisi menabung sangat jarang kita temui.

Ada hal menarik lainya ketika akhir tahun tiba yaitu ketika pembagian rapot biasanya anak-anak akan memberikan kado sebagai hadiah kepada wali kelasnya. Kado tersebut tentu ucapan terimakasih sekaligus rasa syukur karena dapat naik kelas dan lulus. Kado tersebut juga sebagai ungkapan terimakasih atas bimbingannya selama ini kepada mereka. Tentu hal ini menjadi berkah tersendiri baik bagi guru maupun siswa agar terus bersambung.

Keterikatan emosional antara guru dan siswa memang sangat diperlukan apalagi suatu saat mereka akan berpisah. Tradisi akhir tahun memang demikian selalu menyisakan antara persembahan dan kenangan. Saat ini kita hanya sedang menyaksikan anak-anak terus berproses. Tentu seorang guru terus mendoakan kepada anak didiknya agar mereka terus semangat dalam meraih cita-cita.

Anak-anak bagaimanapun keadanya merekalah generasi para penerus. Mereka adalah bahan bakar yang akan menggerakkan laju roda peradaban. Maka dari itu didiklah anak-anak dengan ilmu dan keteladanan. Dengan dua hal itulah setidaknya akan melahirkan anak-anak yang disiplin, berkarakter, berakhlak dan berjiwa pemimpin. Anak-anak hari ini adalah cerminan hari esok. Selamat belajar, berjuang terus duhai anak-anak ku.

the woks institute l rumah peradaban 21/6/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde