Langsung ke konten utama

Jangan Meremehkan Anak-Anak




Woks

Anak-anak adalah aset masa depan jika kita ingin melihat masa depan maka lihatlah anak-anak hari ini. Jika melihat anak-anak hari ini tentu kita sangat optimis sebab keadaannya sangat berbeda dari zaman dulu. Anak-anak zaman sekarang lebih mudah bahagia karena banyak sarana yang membuat mereka berkembang cepat, salah satunya teknologi.

Berbeda dengan zaman dulu, anak-anak penuh dengan perjuangan. Berjuang, letih lelah hingga berdarah-darah mungkin gambaran orang tua kita dulu semasa kanak-kanak. Tapi bagaimanapun juga anak dulu, kini dan nanti pasti beda. Yang jelas kita tidak boleh memandang remeh kepada anak sekalipun mereka berkekurangan. Karena setiap anak memiliki potensinya sejak lahir. Oleh karena itu sebagai orang tua kita hanya bisa mengarahkan kepada mereka jalan terbaik sesuai minat dan bakatnya.

Beberapa orang memang menyayangkan dengan kondisi anak masa kini tentu sangat ironis jika kita tahu masih hanyak mereka yang lahir di jalanan karena kemiskinan. Tidak hanya itu generasi milenial lain justru lebih gandrung dengan gadget dan dunia game. Lebih dari itu keadaan kini sekolah masih terbatas karena pandemi. Sehingga kita sering pesimis bagaimana nasib mereka ke depannya.

Paling penting dari fenomena yang dialami anak-anak adalah jangan sampai kita meremehkan mereka seberapapun keterbatasan menyertainya. Kita ambil contoh dulu seorang Albert Einstein selalu dicemooh di kelasnya hingga akhirnya ia dikeluarkan. Singkat cerita ibunya mengetahui akan masalah yang terjadi pada anaknya hingga akhirnya sang ibu menyuruh agar ia belajar di rumah. Ibunya paham bahwa yang bermasalah bukan anaknya tapi sekolah dan lingkungannya. Dari itulah akhirnya kita tahu Einstein menjadi manusia dengan IQ tinggi dan menjadi ilmuan besar penemu teori relativitas.

Dulu sekitar tahun 1910an seorang anak di Blitar selalu mendapat cemoohan hingga akhirnya ia bisa menaklukkan tantangan dari temanya berupa mampu memanjat pohon Bendo yang angker. Kita tahu dalam sejarah anak itu adalah Bung Karno tak lain merupakan presiden pertama Indonesia. Satu lagi yang tak kalah menarik yaitu seorang anak yang selalu terpinggirkan dan diremehkan karena ia hanya pedagang ikan kecil. Karena herois perjuangannya dalam sejarah anak yang tidak diperhitungkan itu bisa menjadi mentri perikanan dan kelautan serta pemilik perusahaan penerbangan Susi Air, ya dia adalah Susi Pudjiastuti seorang pedagang ikan dari Pangandaran Jawa barat.

Selain membawa potensi anak-anak juga membawa jalan takdirnya tersendiri. Mereka tidak bisa langsung diramalkan akan menjadi A atau B akan tetapi karena takdir Tuhanlah mereka menjadi sesuatu. Tuhan memang selalu punya cara unik untuk mengangkat derajat seseorang. Maka dari itu bagi kita orang tua selalulah optimis bahwa jadi apapun anak tetaplah anak, mereka masih terus butuh bimbingan. Karena ketika mereka kehilangan arah saat itu pula gerak batin mereka padam.

the woks Institute l rumah peradaban 12/6/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde