Langsung ke konten utama

Kematian




Woks

Manusia memang tidak akan pernah mengerti kapan akhir hidupnya. Kisah di mana segala macam aktivitas kecintaan akan berhenti. Kematian sejak diciptakan memang membawa misteri. Kita tidak pernah tau jika dalam sejarah Habil putra Adam harus meregang nyawa karena dibunuh oleh saudaranya sendiri.

Fir'aun si raja lalim yang mengaku Tuhan pun mati di medan pengejaran tepatnya tenggelam di laut merah. Serta banyak lagi kisah kematian yang hingga hari ini manusia manapun kesulitan menebaknya. Tapi agama bisa saja memprediksi lewat tanda-tanda seperti rambut sudah mulai beruban, banyak fungsi organ yang tidak berfungsi dengan baik, bertambahnya usia, hingga mendapat isyarat baik melalui mimpi atau terjaga.

Kematian memang tidak kenal dengan tempat, waktu, keadaan, atau apapun. Intinya semua yang bernyawa akan mati terserah Allah mematikanya di mana, kapan dan bagaimana. Kematian pun akan melahirkan dua kondisi yaitu husnul khatimah (baik) atau suul khatimah (buruk). Dari kondisi itulah sebenarnya bisa di-setting dengan cara kita memperbanyak amal sholeh dan terus berdoa memohon kepadaNya mati dalam keadaan husnul khatimah.

Ada satu hal yang perlu direnungkan yaitu pernah sebuah riwayat berkata bahwa orang akan mati bersama sesuatu yang ia cintai atau dalam bahasa lain sesuai dengan kebiasaanya. Hal ini sering kita jumpai di masyarakat, misalnya seorang qori cinta al Qur'an meninggal dalam keadaan ia sedang membaca, ada juga meninggal dalam keadaan sujud di rakaat terakhir dalam shalat. Kisah Mbah Maridjan tentu sangat unik saking setianya beliau dengan tugas juru kunci Merapi ia harus rela kehilangan nyawa dalam tragedi meletusnya Merapi. Mbah Maemun Zubair wafat hari selasa di Mekah sesuai wasiat para leluhurnya, pun Mbah Nawawi Abdul Jalil Sidogiri yang ingin diwafatkan pada hari Ahad serta banyak lagi kisah tentang kematian.

Jika kematian bisa diprediksi lewat kebiasaan lalu bagaimana dengan orang yang senang menulis. Apakah nanti ia meninggal dalam keadaan merangkai kata, atau berpisah bersama tumpukan kata-kata. Entahlah, wallahu alam hanya Allah yang tahu. Yang jelas bukan kapan, di mana dan sedang apa yang dicatat oleh Allah dalam kematian itu adalah apakah ia sedang ingat Allah atau lalai terhadapNya.

Kematian yang berarti berpindahnya ruh dari jasad memang masih menyisakan efek psikologis yang luar biasa. Orang selalu takut jika diceritakan tentang perkara yang satu ini. Maka pantas sebagian orang menyebutnya sebagai kiamat kecil dalam diri. Akan tetapi mengingat mati itu perlu tapi terlalu mengingat mati itu bahaya. Jika kita tahu bahwa yang takut mati hanyalah hamba amatir dengan iman tipis tapi hamba pilihan seperti Maulana Rumi kematian adalah perjumpaan, menuai rindu kekasih.

Tidak setiap orang siap jika ditanya kapan akan menyusul. Yang jelas pesan Nabi Muhammad bahwa kesiapan mati adalah tentang kecintaan berdua dengan rabbul alamin. Dengan kecintaan itulah menjadi dasar seseorang sowan dalam tradisi Jawa yang membahagiakan. Orang Jawa memang terkenal jika wis waktune sangkan paraning dumadi berarti sowan, pulang bukan mati ia hanya berpindah alam.

Tradisi ziarah kubur mungkin salah satu hal mengingatkan kita pada kematian termasuk ta'jiyah. Jika seorang tetangga atau kerabat meninggal maka itu pesan pengingat buat kita bahwa esok pasti akan menyusulnya. Jika sudah tiba saatnya tak ada seorangpun yang dapat menolaknya pun seorang raja. Dulu Khalifah Harun Ar Rasyid pernah dimintai sesuatu oleh si Majnun katanya jika tuan mampu mewujudkan permintaanku maka tuan memang raja. Permintaan itu adalah ingin ditambahnya umur, menolak kedatangan Izrail dan dimasukan ke syurga, mendengar permintaan itu sang khalifah hanya terdiam membisu. Kata si Majnun itulah tuan pesan bahwa anda bukanlah seorang raja, anda adalah hamba biasa yang harus mengingat bahwa ada yang maha diraja yaitu Allah swt. Cukuplah kematian sebagai pengingatmu.

the woks institute l rumah peradaban 26/6/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde