Langsung ke konten utama

Semakin Berpikir Semakin Bodoh





Woks

Judul tulisan ini terinspirasi dari judul diskusi berjudul "semakin khusyu semakin bodoh". Ungkapan tersebut tersemat arti bahwa apapun ibadah yang dilakukan setiap muslim jika tanpa didasari ilmu ibadahnya tertolak. Hal itu senada dengan orang yang nampaknya khusyu, banyak ibadah, dzikir dan lainya tapi tidak berdasar ilmu dan guru maka sejatinya adalah kebodohan.

Mengerjakan sesuatu hal didasari dengan sanad keilmuan dan guru yang jelas merupakan sebuah keharusan. Oleh karenanya sesuatu hal itu perlu diilmui atau berdasarkan petunjuk guru. Jika seseorang melakukan sesuatu hal utamanya perkara ibadah tanpa ada dasar maka gurunya adalah syaitan.

Sekarang kita menuju ke semakin berpikir maka semakin bodoh berarti bahwa apa yang selama ini dipersiapkan manusia tidak akan bersifat final. Sedangkan apa yang sudah dipersiapkan Tuhan justru itu yang utama. Di sini kita harus bisa membedakan konsep berpikir ala Mutazilah, Jabariyah dan Qadariyah. Yang jelas jika berpikir tentang apa yang kita konsepsikan sendiri nyatanya hal itu adalah kebodohan.

Realisasi dari kesalahan berpikir itu ialah terhadap sesuatu hal yang sudah digariskan. Artinya kita diajak memahami kembali bahwa takdir ada yang mutlak (mualaq) dan yang bisa dirubah (mubram). Di sinilah kita diajak memahami bahwa pikiran digunakan untuk memikirkan hal-hal yang dapat dirubah sedangkan hal yang mutlak tidak perlu jadi kecemasan baru. Nikmati saja dan ikuti segala alur kehidupan Nya.

Di sini bukan berarti berpikir itu salah lebih tepatnya gunakan pikiran untuk hal-hal yang penting. Jangan sampai kita diporsir berpikir tentang hal-hal yang sejatinya bukan wilayah kita. Kadang kesalahan manusia adalah merasa sok jadi Tuhan dengan berpikir jika tidak melakukan A maka tidak akan jadi B dll. Padahal berpikir itu sesungguhnya mengajak kita untuk melihat batasan diri bahwa kita tidak bisa dipaksa untuk selalu tampil perfect. Mark Manson dalam bukunya the Subtle Art of Not Giving A Fuck (2016) atau dalam versi Indonesia "Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat" menuliskan pesan bahwa seseorang perlu bersikap bodo amat terhadap hal-hal yang tidak penting. Artinya seseorang perlu membedakan mana yang prioritas mana yang hanya sekadar tambahan.

Selama ini pikiran kita terganggu karena sering memiliki harapan yang bersifat delusi. Kita merasa harus menjadi orang yang pintar, ingin dicintai, selalu dihormati, tampil sempurna, merasa luar biasa, selalu untung, sukses dan lainya padahal semua itu tidak harus demikian. Kita seharusnya menakar bahwa mengakrabi kegagalan, ketidakpastian, hal yang memalukan, pecundang dan menerima kenyatan bahwa kita bodoh miskin adalah justru kekuatan. Orang akan berpikir dengan cara pikiran tapi bukan karena pengaruh lingkungan atau kata orang. Di sinilah pentingnya membuka diri sekaligus merevisi bisa jadi selama ini cara berpikir kita keliru.

Pasca lulus dari sekolah, nanti jadi apa, masalah rezeki, jodoh hingga kematian sering kita pikirkan dengan keras padahal seharusnya bersikap santai saja. Karena hal-hal itu sudah dipikirkan Tuhan sejak zaman di mana waktu belum dikenal. Maka bersikap santai dan dewasa saja dalam menghadapi kenyataan. Jangan risau dengan gelar pasca kelulusan, tidak usah bingung kita berjodoh dengan siapa atau tak usah cemas nanti makan atau tidak selama kita yakin bahwa Tuhan bersama kita pastilah semua akan baik-baik saja. Jika selama ini pikiran masih dihantui ketakutan, cemas, risau, resah gelisah maka lebih baik gadaikan saja pikiran itu dengan rasa kantuk jadi tidur memang lebih baik daripada meragukan kuasaNya.

Sepertinya kita perlu mencermati pesan Filsuf eksistensial Albert Camus bahwa anda tidak akan pernah bahagia jika anda terus mencari apa yang terkandung di dalam kebahagiaan, anda tidak akan pernah hidup jika terus mencari arti kehidupan. Kata Camus, sampai kapanpun kita selalu menghadapi berbagai kebingungan lantas ala lagi yang akan kita cari sedangkan pencarian itu tak akan pernah ditemukan.

the woks institute l rumah peradaban 4/7/21




Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde