Langsung ke konten utama

Santri Lelana




Woks

Suatu hari kami kedatangan tamu nampaknya seseorang dari jauh. Ternyata dugaan kami benar ia seorang bapak paruh baya usia sekitar 42 tahun. Ia berasal dari Cakung Jakarta yang sudah mengembara 25 tahun hampir ke wilayah Jawa timur.

Perawakan kecil tinggi dengan rambut gondrongnya nampak bahwa ia seorang yang bebas merdeka. Ketika kami coba menanyakan perihal hidupnya ternyata beliau bercerita bahwa ia adalah santri lelana. Santri lelana atau kelana adalah sebutan untuk orang yang sering berpindah-pindah pondok alias mondok dengan waktu singkat. Terbukti dari Jakarta ia langsung mondok ke Mojokerto, Jombang, Malang, Tulungagung termasuk ke pondok kami.

Saking nikmat dan lamanya mondok sejak 2004 hingga kini sampai lupa bahwa ia belum menikah. Ketika kami tanya mengapa demikian ia hanya menjawab singkat, "mungkin ini karena faktor saya sendiri", katanya. Selepas itu ia bercerita bahwa mondok sedemikian lama itu karena ia lari dari kesumpekan hidup bahwa dulu ia adalah orang yang nakal. Banyak hal buruk yang ia kerjakan dalan hidup sehingga lambat laun ia merasa jenuh akhirnya mondok adalah cara terakhir sebagai jalan yang dipilih dalam hidup. Sedari dulu iklim pondok memang menentramkan. Ada banyak hal yang kita dapatkan dari pondok sehingga wajar masih ada santri sepuh yang belum menikah hanya karena begitu asyik dengan ilmu dan ngalap berkah guru.

Walaupun mungkin ia sedikit menyesal karena di usia tersebut ia belum bahagia secara materiil termasuk menikah. Bukankah menikah adalah setengah dari kebahagiaan dunia akan tetapi bagi beliau menikah tidak semudah yang orang bayangkan. Baginya masih banyak hal yang perlu ia cari sehingga barulah berpikir menikah.

Ketika kami berjumpa orang seperti beliau setidaknya tiga hal yang menjadi pelajaran abadi buat kami yaitu selalu dihiasi dengan dzikir karena setiap nafas adalah dzikir katanya termasuk bagaimana mengaduk kopi yang diiringi dzikir, akhlak baik kepada sesama tentu bumbu utama kehidupan tanpa akhlak seseorang tak akan bernilai apa-apa, dan semangatnya menuntut ilmu sangat membara. Usia sesepuh itu masih sanggup berjalan jauh demi sebuah ilmu yang entah di mana ujungnya. Semoga saja dalam proses panjangnya ia dapat menemukan kesejatian diri yang bahkan tidak setiap orang menyadarinya.

the woks Institute l rumah peradaban 11/6/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde