Langsung ke konten utama

Bendera Putih dan Tulisan Yang Tak Selesai




Woks

Beberapa hari mendengar kabar berita di beberapa tempat ada orang yang mengibarkan bendera putih. Anda pasti tahu arti bahwa bendera putih merupakan lambang suci dan simbol kepasrahan. Berarti orang yang mengibarkan bendera putih bermakna ia telah menyerah terhadap keadaan. Dampak pandemi memang nampak mencekam bagi sebagian kalangan utamanya di sektor ekonomi yang terkena imbas peraturan PPKM.

Jika anda sering menonton serial kartun Tom and Jerry biasanya ada scane si kucing Tom mengibarkan bendera putih karena mengakui kecerdikan si tikus Jerry. Begitulah kiranya bendera putih sebagai simbol atau jurus terakhir dalam sebuah permasalahan yang dapat dilakukan seseorang. Tapi jika melihat di lapangan kini di momen bulan kemerdekaan justru bendera merah putih selalu sering bersanding dengan bendera hijau atau hitam bertuliskan kabar duka.

Pandemi yang tak dapat diprediksi dan tak terdugu memang telah merubah banyak hal termasuk manajemen waktu dan strategi dalam menulis. Saya punya kawan yang mati-matian memperjuangkan agar dapat bangkit menulis lagi. Dulu sebelum pandemi katanya ia bisa menuangkan ide minimal seperti minum obat 3x1 alias tiga kali sehari. Tapi saat ini di era pandemi jangankan tiga kali untuk sekadar satu kali pun tak mampu, belum lagi dipaksa mundur oleh kesibukan dan ribuan alasan.

Kesulitan menulis di era pandemi katanya ia harus berjibaku dengan ide dan gagasan. Sering sekali ia mengutuk pikiranya sendiri karena mudah tumpul dan beku. Tidak hanya itu kesibukan menggarap lahan di sawah justru menjauhkanya dari belajar memperdalam ide dan gagasan. Satu hal lagi alasan klasik karena papa tak beride, tak punya inspirasi merupakan masalah yang dielu-elukan. Nampaknya dengan keadaan itu rasanya ia ingin menyerah atau sesekali mengibarkan bendera putih.

Sejak dulu menulis itu memang sulit alias tidak mudah walaupun sebagian ahli berpendapat bahwa menulis itu mudah. Sehingga perlu agar seseorang memiliki strateginya tersendiri dalam menuangkan ide tersebut. Jika strategi tersebut gagal berarti perlu orang lain untuk membantu menunjukkan jalan. Bukankah fungsi seorang guru adalah untuk membersamai muridnya dalam memunculkan potensi bakatnya. Rasanya demikian menulis selalu dekat dengan optimis dan putus asa. Kini tinggal bagaimana sikap kita sebagai seseorang yang berharap bisa menjadi seorang penakluk atau ditaklukkan.

Menulis yang baik bermula dari hal yang selesai. Setelah itu barulah diperdalam dengan gagasan ide, analisis, teoritik hingga kontribusi ilmiah. Maka dari itu seseorang perlu mewadahi pikiran dalam bentuk tulisan dengan terus memberi apresiasi. Jangan selalu berpikir tentang hal yang besar, cukup berpikir sederhana dan selesaikan tulisan. Menulis yang baik dan selesai adalah cara bahwa kita berharga. Mari kibarkan semangat merah putih agar menulis kembali berkibar membara.

the woks institute l rumah peradaban 7/8/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde