Woks
Senin pagi udara begitu sejuk namun dunia sedikit berbeda. Pagi itu suasana terasa hampa padahal mentari sedikit demi sedikit menampakkan cahayanya. Saat ku buka hp, WA tak henti-hentinya berbunyi aku merasa santai karena biasanya pun informasi mengenai tugas sekolah yang bermunculan. Tapi sayang dugaan ku ternyata keliru pesan WA yang begitu cepat tersebut ternyata kabar duka dari Haurgeulis Indramayu. Ya guru kami Ustadz Muiz Ali, S.Pd.I atau akhir-akhir ini orang memanggil beliau Kyai Muiz baru saja berpulang.
Mendengar kabar tersebut tentu aku langsung mematung, membisu dan kaku seolah tak percaya. Aku masih terus memandangi hp sambil memastikan bahwa kabar tersebut tidak benar-benar terjadi. Tapi apalah daya Allah swt memang sudah menyambut beliau sejak lama. Saat itulah tangis ku pecah. Aku merasa perlu untuk mengurai air mata karena betapa pun beliau telah mengkonstruk pikiran kami terutama seputar fikih dan metodologi dakwah.
Kyai Muiz merupakan guru, teman sekaligus orang tua bagi kami. Beliau tidak hanya bapak dari kawan kami Mbak Afroh Mirwahah tapi juga teladan atas diri seorang santri kecil seperti diri ku. Aku merasa berhutang ilmu dan pengalaman dengan beliau. Sampai-sampai dalam hati kecil berkata, bapak Kyai Muiz setiap aku pulang dari Jatim pasti rumah beliau menjadi salah satu tempat berlabuh barangkali untuk sekedar curhat dan minta doa. Saat ini mungkin ketika aku pulang nanti pusara beliau barangkali merupakan tempatku menambatkan doa.
Sebenarnya aku tak sanggup melanjutkan tulisan kecil ini. Aku merasa kelimpungan ketika mendengar kabar beliau pergi. Aku cuma merasa sangat dekat dengan beliau walau entah apakah beliau merasa dekat dengan ku atau tidak. Berbagai teman pun merasakan hal yang sama bahwa beliau adalah guru yang bersahaja, seorang pendidik yang demokratis dan selalu renyah dalam tawa. Cerita-cerita cerdas tapi syarat makna barangkali adalah yang sangat dekat untuk diingat walaupun pada akhirnya membawa tangis.
Tentu kami mengingat ketika beliau menjelaskan ilmu fikih di kelas, pembahasan yang runtut dengan pembawaan yang humoris justru membuat siswa terhanyut, asyik dan memahami. Sebagai alumnus pesantren beliau tentu berpesan bahwa masalah fikih terutama bab istihadoh seorang laki-laki pun harus memahaminya karena esok mereka akan berumahtangga. Satu hal lagi yang sampai hari ini masih ku ingat yaitu ijazah beliau ketika dulu mondok di Buntet Pesantren hingga ke Ploso Kediri yaitu tentang amalan agar diberi kepahaman tentang ilmu agar membaca Surah Al Anbiya ayat 76 فَفَهَّمْنَٰهَا سُلَيْمَٰنَ ۚ وَكُلًّا ءَاتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا ۚ وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُۥدَ ٱلْجِبَالَ يُسَبِّحْنَ وَٱلطَّيْرَ ۚ وَكُنَّا فَٰعِلِينَ sebanyak 3x bada shalat lima waktu.
Ketika aku akan berangkat ke Jatim pun beliau salah satu orang yang mengafirmasi agar aku mengambil jurusan Tasawuf Psikoterapi. Kata beliau dalam selorohnya, "bagen ari tasawuf mah bapak ge seneng, ngko out put e dadi sufi (suka kofi, kami pun tertawa) bisa ndandani ati, wonge tapi ngko kuh serada mengkonon ika. Baka rambute gondrong ya makin mantep. Sing penting aja dadi ahli filsafat jeh, ngko bokat kaya Aristoteles dodok jentul bae, mikiri dunya kro langit laka saka e" kami pun makin pecah tawa. Lantas aku pun lega walau pesan beliau nampak guyon tapi hari ini aku merasakan manfaatnya.
Seorang yang bersahaja, murah tawa dan penuh dengan ilmu tersebut kini mendahului kita semua. Saat ini aku sendiri hanya mampu mengingat kebaikan beliau, doa dan petuahnya ketika kami masih bertemu entah di sekolah, rumah atau bahkan di warkop. Semoga Allah SWT berkenan menerima segala amal baik beliau dan selalu dalam keridhoan. Ya Allah bapak, kula sangat kehilangan. Husnul khatimah al fatihah.
the woks institute l rumah peradaban 3/8/21
Komentar
Posting Komentar