Langsung ke konten utama

Merapal Zaman dalam Rangka Menyambut Hari Kemerdekaan RI ke-76




Woks

Apakah kita benar-benar merdeka. Begitulah pernyataan yang sejak dulu sulit diurai. Kita bisa saja merdeka secara fakta sejarah tapi secara hakikat manusia selalu terbelenggu dengan banyak hal. Dewasa ini bangsa kita selalu berhadapan dengan hutang negara, antek asing, kemiskinan, kebodohan, korupsi, teknologi, kuasa ekonomi dan banyak hal lainya yang masih menjerat kita. Apakah jika melihat fakta tersebut kita sudah merdeka. Rasanya belum. Hidup memang tak kenal batas akhir. Di sanalah kita akan terus berkobar berkorban di medan juang. Kemerdekaan belum benar-benar diraih.

76 tahun merupakan usia yang tidak muda lagi. Padahal bangsa ini sudah berpengalaman dalam menghadapi kondisi kritis. Akan tetapi kita masih kesulitan untuk menerka bagaimana keluar dari zona nyaman. Zaman silih berganti dan tentunya masih diperlukan serangkaian strategi dalam menghadapinya. Dunia kini sudah berbeda jika dulu petani bisa berdaya dengan tanah garapanya kini belum tentu karena bisa jadi tanah bisa ditukar dengan uang karena kebutuhan, desakan hingga nafsu sesaat.

Orang-orang berdagang tidak seperti dulu bisa sangat mudah riuh dalam asyiknya tawar menawar, saling bertegur sapa hingga menjadi saudara. Harga tidak menjadi persoalan di atas sebuah pelayanan tapi dunia telah berusia begitu cepat. Sejak internet masuk, temuan sains menggeliat dan teknologi berperan besar tentu iklim ekonomi tak lagi bisa diprediksi. Pedagang kecil terutama dipaksa untuk paham teknologi jika tidak mereka akan gulung tikar sejak dini. Persaingan di mana-mana bahkan tak kenal lagi klenik yang ada justru inovasi.

Refleksi 76 tahun berkaca pada Indonesia tempo hari untuk melangkah ke masa depan tentu yang dimiliki adalah harapan. Bagaimana para nelayan berharap biaya melaut bisa terjangkau. Akan tetapi rasanya sulit karena sejak dulu hingga kini lautan sulit ditaklukkan. Batuan karang masih cadas, keras sedangkan ombaknya semakin ganas. Tidak hanya itu ikan-ikan di laut kita justru semakin sedikit dan bahkan memilih bermigrasi ke laut orang. Percis seperti para buruh migran, atlet, pelatih hingga ilmuan yang memilih luar negeri sebagai tempat mencari nafkah. Negeri sendiri tidak cukup kaya selain bagi mereka yang berkuasa.

Tantangan zaman kian hari memang memilukan apalagi jika sudah berhadapan dengan ulah politisi busuk. Masyarakat seolah dibuat tunduk oleh kebijakan, regulasi bodong dan semangat semu. Alih-alih ingin mengisi kemerdekaan atau demi bangsa padahal faktanya demi kepentingan pribadi dan kelompok. Politik negeri ini belum juga dewasa. Entah sampai kapan akhirnya yang jelas negeri ini tak pernah lelah melahirkan tokoh berkarakter tinggi sejak guru bangsa HOS Cokroaminoto, Ki Hadjar Dewantara, Bung Karno, Bung Hatta, Daoed Joesoef, hingga Artidjo Alkostar. Tapi sayang kita tak kunjung belajar dan mengaplikasikan ilmu dari para pendahulu itu. Kita hanya sesekali menyebut mereka ketika memang diperlukan misalnya saat seminasi, itu pun tak lebih.

Sudahlah 76 tahun bahkan hingga satu abad pun usia hanya berganti secara kuantitas. Yang terpenting dari semua itu adalah bagaimana menerka zaman yang kian hari menyeret kita untuk berubah. Perubahan seperti apa yang ingin dicapai tentu semua merupakan bagian dari yang dicita-citakan. Kita perlu berbenah dari segala kepentingan, berpikir jernih demi banyak orang dan tentunya demi bangsa. Walaupun di tengah perubahan setidaknya karakter sebagai jati diri bangsa harus tetap diperkuat jangan sampai pudar karena ajaran asing masuk dengan mudahnya. Perlulah kita menghayati pesan Bung Hatta tempo hari bahwa nanti kita akan melawan bangsa sendiri maka dari itu selama masih gemar memperdaya sesama saudara sebangsa, merusak dan mencuri kekayaan Ibu Pertiwi di sanalah perlunya terus berbenah. Jangan puas sebab bangsa ini bangsa ini belum berpengalaman apa-apa dihadapan sebuah kepentingan kuasa sesaat.

the woks institute l rumah peradaban 16/8/21



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde