Langsung ke konten utama

Menggagas Agen Kebaikan





Woks

Terlintas dalam hati banyak di antara para filantropi yang membutuhkan bantuan untuk mendistribusikan kebaikanya. Maka dari itu saya terbersit untuk membuat agen kebaikan. Tujuanya sederhana yaitu membantu terdistribusikanya kebaikan tersebut.

Setiap orang barangkali ingin berderma akan tetapi tidak punya waktu untuk menyampaikan kepada objek penerima sehingga perlulah pihak ketiga untuk menjembatani hal itu. Maka dari sanalah saya ingin menjadi owner agen kebaikan. Lebih tepatnya sebuah komunitas yang bergerak di bidang jasa antar kebaikan. Lalu siapa anggotanya? sementara saya kelola sendiri.

Teknisnya sederhana orang yang ingin berbagi kebaikan bisa menghubungi kami melalui pesan WA setelah itu kami akan meluncur dan langsung menyalurkan kebaikan tersebut. Jika berupa barang seperti makanan, pakaian, obat-obatan atau lainya tentu kami sudah siapkan segala sesuatunya meliputi pencatatan, penghimpunan dan objek sasaran. Jika kebaikan tersebut dalam bentuk uang atau misalnya hewan ternak maka kami akan sediakan rekening dan tempat penampungan. Gunanya untuk dihimpun dan dibelanjakan sesuai dengan kebutuhan. Intinya tidak ada sedikitpun niat untuk memperkaya diri sendiri.

Kami hanya ingin membedakan harta bergerak untuk lebih difungsikan sesuai dengan operasional yang ada. Semua hal dalam gerak langkah agen kebaikan justru didanai secara mandiri dan disokong bersama anggota komunitas. Sasaran dan targetnya sudah jelas yaitu mereka yang membutuhkan yaitu fakir, miskin, yatim dhuafa, orang jompo, pedagang kecil hingga orang yang hidupnya di jalanan.

Gagasan ini tentu akan terwujud jika melibatkan anda para orang-orang jujur. Karena tanpa kejujuran segala sesuatu akan bubrah apalagi saat ini rawan disalahgunakan. Penipuan berkedok wadah donasi, pundu amal dan sejenisnya tentu sangat mudah dijumpai. Maka dari itu aktivitas ini menjadi tantangan tersendiri. Anda pasti tau bahwa orang jujur saat ini mengalami kelangkaan. Jadi di sini kami juga sekaligus mencari manusia jujur yang masih tersisa di muka bumi. Barangkali landasan kejujuran dan keikhlasan menjadi poros utama agen kebaikan ini melangkah. Tanpa dua hal itu rasanya sangat berat sekali untuk memulainya.

Tapi tidak salah jika dicoba terlebih dahulu. Masih banyak orang di luaran sana yang perlu uluran tangan kita. Umat memang menunggu sikap pahlawan yang sudah lama mati suri. Sehingga perlulah kita terpanggil untuk menjadi agen kebaikannya minimal untuk diri sendiri. Misalnya mau meneruskan pesan sejuk para guru, mendengar perintah kebaikan orang tua dan tentunya firman Tuhan untuk bermanfaat bagi sesama. Jika gagasan kami ini menarik untuk anda ayo bantu kami untuk mensukseskannya.

Jika anda memiliki uang bolehlah donasikan, jika anda punya buku bolehlah disumbangkan, jika anda punya ilmu bolehlah ditularkan. Bukankah kesemuanya hanya titipan maka ibarat virus kebaikan pun harus ditularkan. Anda tertarik, kami tunggu niat bagi saudara menjadi agen kebaikan.

the woks institute l rumah peradaban 28/8/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde