Langsung ke konten utama

Kebenaran yang Eksistensial




Woks

Setiap orang berhak mencari kebenaran atas apa yang menjadi pencariannya. Sedangkan seseorang yang lain tidak berhak menghakimi atas pencarian kebenaran seseorang. Karena dalam proses pencarian tersebut mereka memiliki jalan tersendiri yang ditempuh dan itu pasti berbeda dari setiap orang. Lantas kita bertanya memang kebenaran seperti apa yang harus dicari?

Sebelum mengurai pertanyaan itu apakah tidak salah jika balik bertanya apakah ada kebenaran yang dicari. Bukankah semakin mencari justru semakin tak mengerti ke mana sejatinya pencarian itu berlabuh. Tapi kita perlu meyakini bahwa kebenaran itu nyata adanya. Barangkali memang untuk mencapai kebenaran itu seseorang perlu kerja keras, perenungan dalam hingga menggapai maqom tertentu.

Demi sebuah kebenaran kita tau Nabi Ibrahim rela mencari siapa Tuhanya hingga akhirnya keyakinannya mantap. Karena keyakinan yang mantap itu bahkan Nabi Ibrahim sampai dihadapkan dengan satu peristiwa bersejarah yaitu mendapat perintah menyembelih anaknya Ismail. Sang Ksatria Gautama rela pergi dari tahta raja demi bertapa di pohon Bodhi hingga menjadikanya sang Budha. Galileo Galilei harus rela meregang nyawa demi mempertahankan kebenaran perihal matahari sebagai titik pusat bumi. Sayyidina Abu Bakar, Usman bin Affan, Abdurrahman bin Auf dan sahabat saudagar lainya rela kehabisan harta demi perjuangan dakwah kebenaran Rasulullah SAW.

Kebenaran memang lebih dari sekedar idealis atau sekadar jalan pikiran. Kebenaran adalah cahaya penerang yang menunjukkan jalan kepada makna batin terdalam. Rasa ini jika diperjuangkan berarti pemberian dariNya. Rasa yang tidak bisa dijelaskan oleh diksi dan kata-kata. Setiap orang punya pengalaman spiritual yang mengantar pada kebenaran. Tanpa perjalanan mengarungi ruhani tersebut seseorang tak akan bisa menemukan kebenarannya. Sebab selama ini kebenaran fisik terlampau mendominasi sedangkan yang esensial selalu tak terjamah.

Benar kata Max Webber bahwa dunia modern sesungguhnya telah kehilangan magisnya maka apa yang diharapkan dalam kecanggihannya. Perlulah seseorang mengikuti jalan ninjanya, jalan yang tidak setiap orang mampu melewatinya. Untuk meraih kebenaran seseorang perlu petunjuk dalam bahasa agama adalah kitab suci dan petuah nabiNya. Dengan dua jalan tersebut kebenaran akan terbuka lebar. Masihkah kita ragu bahwa jalanya lurus tersedia buat hambanya yang rela menempuh. Kita memang harus yakin bahwa jalan kebenaran terbuka lebar buat mereka yang ikhlas menjadi hambanya menempuh rel yang diridhoi Nya.

the woks institute l rumah peradaban 6/8/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde