Langsung ke konten utama

Tugas Akademik: Seni Menyusun Kehidupan




Woks

Sore itu seorang teman berkisah tentang proses kuliahnya yang ternyata mengalami kemoloran. Ia harus puas menerima kenyataan pahit itu karena dulu sempat menganggap remeh aktivitas akademik yang satu ini. Sebagai mahasiswa akhir tentu ia begitu menyesal karena sampai saat ini ia masih memiliki tanggungan berupa tugas PPL dan KKN. Padahal seharusnya ia sudah menyelesaikan kuliah seperti teman lainya bahkan tinggal menunggu wisuda.

Dari pernyataan teman ku tersebut aku langsung menurunkan tulisan ini bahwa memang tugas akhir seorang mahasiswa baik itu skripsi untuk S-1, tesis untuk S-2 dan disertasi untuk S-3 semuanya sama yaitu sebuah proses menuju puncak kehilangan akademik. Jika disamakan dengan hidup tentu merupakan proses akhir sebelum seseorang bersua kembali kepadaNya. Demikian lah tugas akhir akademik memang tidak bisa ditebak seperti hasil Olimpiade Tokyo tahun ini yaitu ibarat pasangan Greysia Polii dan Apriani Rahayu yang tidak diunggulkan akan tetapi mereka mempersembahkan emas untuk Indonesia.

Tugas akhir akademik itu pun demikian seseorang bisa saja merasa percaya diri di awal karena dia merasa di atas angin secara kemampuan akademik dengan yang lainya. Akan tetapi faktanya tidak demikian karena tugas akhir ini benar-benar memberi kejutan. Bisa saja orang yang merasa pintar ia justru tersandung masalah yang menyebabkan molor kuliahnya sedangkan orang yang biasa-biasa saja justru lulus tepat waktu. Tugas akhir memang unik bisa saja apapun menjelma batu sandungan misalnya, dosen yang killer, dosen sulit ditemui, analisa penelitian yang kurang mendalam, rasa malas menulis, godaan teman ngopi dan sebagainya.

Begitu pula dengan kehidupan bahkan justru akan lebih banyak lagi. Orang-orang yang akan menapaki derajat lebih tinggi pasti akan menghadapi ujian kehidupan. Jika mereka kuat tentu akan berhasil tapi jika menyerah maka kalahlah mereka. Kehidupan memang demikian seseorang bagaikan pohon yang semakin menjulang tinggi maka angin pun semakin kencang.

Tapi relasi antara tugas akademik dan kehidupan adalah bagaimana seseorang mempersiapkan sejak dini. Selama ini kendala mahasiswa molor karena sering mengabaikan tugas, mudah menyepelekan, dan tidak mencicil membiasakan menulis. Jika sedari awal rajin membiasakan menulis, rajin berkonsultasi dengan dosen pembimbing, serta rajin berdiskusi mengenai penelitian dapat dipastikan tugas akhir tersebut akan selesai tepat waktu. Kehidupan pun demikian jika seseorang selalu menempatkan waktu prioritas, sering bersilaturahmi, semangat bekerja ibadah berdoa mengabaikan hawa nafsu dapat dipastikan kehidupan akan selamat.

Maka dari itu jika mahasiswa ingin menyelesaikan tugas tepat waktu susunlah dan siapkanlah sedari dini jika tiba waktunya sesi akhir seseorang sudah tidak kaget dan pasti siap. Dalam hidup pun demikian jika sudah menyusun segala hal yang akan dihadapi maka seseorang tidak akan bingung dan kaget bahwa dunia memang perlu disikapi dengan dewasa. Pesan keduanya yaitu jika kita lemah terhadap dunia maka dunia akan keras pada kita dan sebaliknya jika kita keras terhadap dunia maka dunia akan tunduk pada kita.

the woks institute l rumah peradaban 5/8/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde