Langsung ke konten utama

Mengajari Anak Berdo'a




Woks

Suatu pagi ketika awal kelas dimulai anak bergegas masuk rungan untuk melaksanakan do'a bersama. Seorang guru kecil tak lupa sudah di depan kelas seraya mengintruksikan agar tenang karena do'a sebagai kegiatan pembuka akan segera dimulai. Mari kita berdo'a bersama pinta sang guru kepada para siswa. Ternyata permintaan sang guru tidak digubris oleh siswa. Mereka terdiam dan seolah tidak ingin dengan kehadiran sang guru tersebut.

Ketika ditanya mengapa sikap mereka menjadi dingin secara kolektif. Ternyata faktornya adalah karena mereka hanya ingin belajar dengan wali kelasnya, selanjutnya mereka juga merasa tidak perlu nurut dengan guru muda yang nampak masih baru itu. Lalu singkatnya sang guru tersebut tak kehabisan akal. Ia masih tetap berdiri tegap sambil tersenyum dan percaya diri bahwa semua ini memang perlu proses. Anak-anak hanya perlu beradaptasi dengan kondisi baru apalagi gurunya yang begitu asing bagi mereka.

Lalu sang guru tersebut memberi instruksi jika tidak ingin berdo'a ya tak apa yang penting mereka harus mendengar cerita. Akhirnya mereka pun nurut dan inilah perangkap pertama yang dimenangkan sang guru. Si guru tersebut bercerita kepada sang anak bahwa di kelas ini ibarat sebuah penumpang dalam sebuah mobil. Yang bertindak sebagai sopir adalah guru dan siswa adalah penumpangnya. Kata sang guru jika mobil ini mogok apa kalian tega sang supir mendorongnya sendiri? mereka pun menjawab, "tidak".

Lantas mau apalagi selain para penumpangnya pun harus ikut mendorongnya. Nah demikianlah sama dengan do'a apa mungkin sang guru berdo'a sendirian. Maka dari itu ayo bantu guru untuk sama-sama berdo'a agar mendapat keberkahan. Sama halnya dengan mobil tadi jika semua orang membantu mendorong bisa sangat mungkin mobil mogok tersebut jalan kembali. Do'a yang dipanjatkan secara berjamaah sungguh khasiatnya luar biasa. Barangkali jika ibarat mobil tadi faktor keselamatan mutlak di tangan Tuhan. Akan tetapi karena do'a penumpang dan sopirnya bisa sangat mungkin Tuhan akan mengabulkan do'a hambanya minimalis mendapat keselamatan.

Dari kisah tersebut tentu masih banyak cerita lainya yang berkaitan dengan do'a. Bukankah ad dua muhul ibadah bahwa do'a itu adalah intinya ibadah. Jika seseorang tidak pernah berdo'a bisa sangat mungkin ruhnya kering. Do'a adalah sarana berkomunikasi kepada Tuhan. Dengan do'a itu pula tanda bahwa manusia adalah mahluk yang papa, tak berdaya. Sejak dini perlulah kita mengajari anak berdo'a agar mereka sadar bahwa do'a adalah kendaraan yang membawa pada pencapaian, harapan dan keselamatan.

the woks institute l rumah peradaban 26/8/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde