Langsung ke konten utama

Bersahabat dengan Waktu





Woks

Soal waktu sejak lama kita selalu kesulitan dalam mengaturnya. Waktu ibarat anak kecil yang tak bisa diatur sedangkan kita selalu nampak tak berdaya dibuatnya. Lantas bagaimana cara agar berdamai dengan waktu. Saking sulitnya berkawan dengan waktu sampai-sampai seorang teman curhat agar waktu hidupnya lebih bermakna.

Seorang teman tersebut masih menganggap bahwa waktunya masih belum maksimal. Waktunya selama ini hanya digunakan untuk keperluan pribadi seperti ibadah mahdoh, ngajar ngaji dan nderes al Qur'an. Ia ingin meminta saran agar waktunya berkualitas dan dapat bermanfaat bagi orang lain. Sebenarnya ia sendiri sudah mencoba untuk belajar wirausaha dan beternak kambing bersama pamannya. Akan tetapi ia masih merasa belum menemukan makna yang jelas.

Waktu memang perkara penting yang harus diperhatikan secara maksimal. Jika hidup hanya sekadar bermalas-malasan maka bersiaplah digilasnya. Sungguh banyak para arif yang berpesan betapa pentingnya waktu, Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah misalkan menginginkan bahwa waktu ibarat pedang jika tak mempergunakannya maka bersiaplah terhunus olehnya. Firman Allah dalam surah al Asr' juga bersumpah demi waktu agar manusia dapat memperhatikan dengan lebih berharga bahwa ada yang lebih penting ketika sehat, ketika lapang, ketika kaya, ketika muda, dan ketika hidup untuk lebih dipergunakan dengan baik.

Tidak semua orang mampu bersahabat dengan waktu. Bahkan justru banyak diperbudak waktu karena mereka hanya memprioritaskan waktu dengan memburu dunia semata. Seharusnya sebagai seorang yang visioner manusia membagi waktunya minimal untuk ibadah, bekerja dan istirahat. Jika semua waktu hanya untuk bekerja lantas apa bedanya dengan robot. Jika hanya ibadah lantas kapan bekerja untuk kehidupan. Termasuk jika hanya sekedar istirahat orang tak ubahnya benda mati. Maka dari itu perlulah untuk menyeimbangkanya.

Waktu lebih luas daripada jam maka perlulah seseorang lebih memperhatikan agar waktunya bermanfaat. Jika Sapardi Djoko Damono berkata bahwa yang fana adalah waktu sedang kita abadi maka perlu dicermati bahwa waktu sedetik pun akan meninggalkan kita dan ia akan jadi sejarah. Dengan demikian selagi masih muda mari menyibukan diri dengan hal-hal positif agar waktu tidak menghinakan usia yang diamanahkan Tuhan ini.

the woks institute l rumah peradaban 30/8/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde