Langsung ke konten utama

Sebuah Puisi Kecil




Woks

Semoga kita lelah untuk berucap belasungkawa
Kata yang tidak ingin cepat untuk diucapkan selain ikhlas karena rindu

Kematian di tengah pandemi memang seperti bayangan tiap hari begitu dekat
Bayangan itu tak akan sirna sekalipun di makan gelap
Ia akan menuju kepada sang maha cahaya

Tapi jika sudah waktunya tiba jangan kau sesali
Kita perlu belajar pada Rumi untuk menari
Kita perlu belajar pada Didi kempot untuk dijogeti
Karena semua hal dalam hidup punya siklus
Ada awal dan akhir ada hidup dan mati kecuali Dia sang maha Kekal

Sejak dulu kematian memang menakutkan padahal tidak demikian
Justru kehidupan adalah hal yang menemui kematian tapi nyatanya kita sudah jauh keliru
Kita memang perlu belajar mati sakjroning urip

Srigading, 21/8/21

Sudah lewat tengah malam pertemanan makin begitu asyik
Kopi dan rokok barangkali jadi penopangnya
Orang-orang ngobrol ngalor ngidul tak tau arah
Pembahasan syarat istilah bergema ke segala arah
Barangkali begitulah hiburan masyarakat
Sesekali diselingi pion pada bidak catur yang membuatnya tertawa

Mungkin masyarakat sudah lelah
Melihat jejak langkah politisi yang kian parah
Otak-otak tak lagi berfungsi
Hanya janji-janji bertabur gula terus digembosi

Barangkali pertemanan adalah solusi
Untuk mereka bertahan agar tetap sehat di negeri sakit

Srigading, 21/8/21

Sekat-sekat pandemi belum juga usai
Sudah lama kita berjarak tanpa solusi
Wajah-wajah nan ayu dipaksa sembunyi
Senyum sumringah sudah tak ada lagi
Pandemi memang meluluhlantakkan semua
Hanya doa-doa kecil yang bisa menguatkan
Tuhan lindungilah aku

Di bawah kubah mu orang-orang sepi berlari
Pusat-pusat ekonomi dianggap solusi
Padahal semua hanya sebuah kemungkinan
Ketimpangan berpikir seperti mulai merata
Anak-anak dipaksa tidur di rumah terlalu lama
Sekolah tak lagi hidup atau lebih tepatnya bangkai sementara
Gedung-gedung tinggi jadi tak berarti
Salahkah tuhan mencipta pandemi
Tidak.

Manusia dan teknologi berkongsi
Sedang Dia selalu salah dan dihakimi
Ketika Musa berharap agar umat berseru nyatanya justru Tuhan pun dikibuli
Kehidupan manusia kian hari memang pongah
Memakan liyan tak pernah berkesudahan
Harta berlimpah tak lagi jaminan
Justru kian hari makin semangat menjarah

Puisi dan lagu didendangkan
Tulisan dan konfrontasi dilukiskan
Tapi semua sia-sia belaka
Karena semua orang telah tuli dan buta
Mereka hanya menjadi mahluk nista
Kehilangan empati terhadap sesama
Tuhan engkau ada di mana

Srigading, 21/8/21

the woks institute l rumah peradaban




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde