Woks
Pernahkah kita bertanya mengapa langit tidak menurunkan pahlawan sebagaimana dulu mereka hidup di zaman penjajah. Manusia heroik, pantang mundur dan pastinya berani mati. Orang-orang yang rela dan ikhlas berlaga di medan perang demi cita-cita merdeka. Rasanya memang demikian bahwa pahlawan sudah tidak lagi diturunkan akan tetapi sikapnya masih membumi.
Sikap kepahlawanan akan selalu hidup selama orang mau belajar. Kepahlawanan bukan soal angkat senjata melainkan bersikap jujur dan sukarela dalam membantu orang lain, menebar manfaat serta rela berkorban. Sebenarnya sikap kepahlawanan itu sangat mudah akan tetapi sangat sulit jika hanya sekadar jargon.
Barangkali seseorang memang terlalu berespektasi tinggi tentang pahlawan. Lebih-lebih seorang anak yang terkonstruk bahwa pahlawan adalah mereka yang memiliki kekuatan super dan suka menolong. Padahal arti pahlawan sederhana saja bisa jadi di antara kita adalah pahlawan minimal bagi keluarga sendiri. Istilah Jawa mikul dhuwur mendem jero adalah salah satu sikap kepahlawanan di mana seorang anak akan terus menjaga nama baik keluarganya. Termasuk para atlit yang berlaga secara sportif mereka juga bisa dikatakan pahlawan walaupun belum mampu mempersembahkan medali.
Sebenarnya dari sikap kepahlawanan ini kita belajar tentang arti merdeka yang sesungguhnya. Karena kemerdekaan diri sendiri juga tak kalah pentingnya. Daripada berpikir tentang orang lain lebih baik berpikir tentang diri sendiri. Apakah diri ini telah merdeka atau masih terbelenggu dengan banyak hal di luar kedirian. Rerata selama ini seseorang masih terbentur dengan norma sosial yang ada sehingga dirinya terbatas untuk melakukan sesuatu hal. Masyarakat selama ini memang memiliki dampak yang besar untuk seseorang berkembang. Akibatnya seseorang justru terpenjara dengan dirinya sendiri. Jika tidak disikapi dengan arif niscaya kemerdekaan bagi diri sendiri tak akan terwujud.
Khususnya para pemuda perlulah belajar tentang arti futuwwah yaitu kepahlawanan spiritual. Sikap ini disandarkan kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib yaitu sosok gagah berani dan tampil berdasarkan ilmu. Barangkali kemerdekaan diri sendiri adalah bukan karena pangkat jabatan, harta berlimpah atau busana mewah akan tetapi ilmu yang melekat. Sayyidina Ali telah mencontohkan bahwa antara agama dan ilmu justru harus seimbang, keduanya sangat penting untuk bertemu di masyarakat. Hari ini tentu kita tahu banyak orang berilmu tapi telah kehilangan agamanya.
Demikianlah kiranya kita belajar bahwa hanya dengan ilmu dan agamalah seseorang bisa keluar dari belenggu dunia yang fana. Dua kunci itu dapat memerdekakan diri menjadi diri yang berkualitas. Hidup selalu bernafaskan perjuangan, berkarakter tinggi, berintegritas dan pastinya berbudaya. Jika sampai hari ini seseorang tidak mencari kemerdekaan dirinya maka siap-siap kita dapati mahluk yang mudah mengeluh, selalu kecewa, rapuh, kapitalis dan jauh dari nilai agama serta ilmu. Bukankah manusia ditinggikan derajatnya karena akhlak dan ilmunya?
the woks institute l rumah peradaban 20/8/21
Komentar
Posting Komentar