Langsung ke konten utama

Kemerdekaan Indonesia Kemerdekaan Penulis




Woks

"Barangkali peperangan adalah pelajaran terbaik buat umat manusia".- Nietzsche.

Sejak dulu tanah air memang sangat penting, bagaimana manusia bisa hidup damai jika tanah air pun tak punya. Tapi apalah artinya tanah air jika lepas tak dipertahankan mati-matian sebab serbuan penjajah. Karena ia sejatinya rumah tempat bernaung, bercita-cita dan kembali. Kini sudah 76 tahun kita merdeka tapi seperti Nietzsche bilang orang-orang telah diberi pelajaran lewat perang yang menukar nyawa dan menggenang darah. Saat ini perang fisik (qital) rasanya sudah tidak ada kecuali masih terasa di beberapa negara seperti Timur tengah terutama Palestina. Maka perlulah memakai kemerdekaan seperti apa yang hendak dicapai.

Setiap tahun jika tiba momen kemerdekaan rasanya ingin larut dalam tangis dan air mata. Hakikat dan pesan kemerdekaan memang begitu mengalir dalam darah bahwa sesekali selalu sesegukan karena tak kuasa mendengar lantunan hymne syukur, lagu Indonesia raya, melihat para veteran hingga berkibarnya sangsaka merah putih. Perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan memang tidak mudah. Tentu perjuangan itu dilakukan dengan berbagai cara mulai dari konfrontasi fisik, angkat senjata, meja diplomasi, hingga lewat tulisan.

Dulu para tokoh seperti Bung Karno, Bung Hatta, M. Natsir, Tan Malaka, Pramoedya, hingga Mahbub Djunaidi banyak menuliskan gagasan dan kritik demi cita-cita kemerdekaan. Tulisan-tulisan mereka berbicara lantang sehingga menyebabkan bui. Pengasingan bagi Bung Karno ke Ende, Bung Hatta ke Boven Digoel, Pramoedya ke Pulau Buru atau dari penjara ke penjara seperti Tan Malaka barangkali konsekuensi paling dekat buat mereka. Dulu pertentangan karena kolonialisme, politik otoritarian, aparat represif tentu sangat perlu dilawan salah satunya lewat tulisan. Bahkan ketika kemerdekaan diraih kita juga masih berjuang lewat udara (radio) dan tulisan baik melalui famplet, brosur hingga surat kabar.

Saat ini kita sudah merdeka 76 tahun usia yang melewati setengah abad. Apakah para penulis masih belum merdeka? rasanya belum. Sejak dulu perjuangan penulis juga tak kalah heroiknya bahkan hingga hari ini penulis masih menarikan penanya. Lewat tulisan kita tahu sangat berfungsi sebagai alat propaganda, meyakinkan pembaca, dan membawa pesan tersendiri. Tulisan memang lebih ditakuti daripada seribu anak panah kata Napoleon Bonaparte, ksatria Prancis itu. Tapi apakah semua telah berkesadaran bahwa menulis mengandung dampak besar bagi kehidupan?

Apakah dengan merdeka para penulis juga merdeka, rasanya belum. Karena bagi penulis tidak ada kemerdekaan kecuali menulis itu sendiri. Selama tulisan tidak produktif lagi berarti selama itulah mereka mati. Tulisan lahir bukan persoalan peristiwa dan apa yang ingin dicapai melainkan sebuah jembatan penghubung antara masa lalu dan sekarang, petunjuk jalan bagi masa depan. Menulis barangkali adalah kemerdekaan itu sendiri karena ia mencoba menaklukkan waktu, keluar dari belenggu kebodohan dan berkorban atas buah pikiran.

Ciri-ciri orang merdeka adalah mereka tidak lagi terjajah oleh apa kata orang lain atau lingkungan. Termasuk dalam hal menulis, mereka akan menulis saja tanpa pernah berpikir tulisan tersebut dibaca orang atau tidak. Pramoedya telah mencontohkan di masa silam bahwa jangan takut jika tulisan tak dibaca, karena setiap tulisan membawa pembacanya tersendiri. Orang-orang yang merdeka menulis adalah saat mereka menulis dengan tanpa berpikir apapun apalagi selalu berorientasi uang. Para penulis yang berjuang lewat pena nya mereka hanya ingin berkontribusi sesuai dengan kemampuan. Bayangkan jika setiap orang dengan posisinya masing-masing berpikir untuk memberi kontribusi niscaya bangsa ini tak akan jadi peminta-minta.

Kemerdekaan bagi penulis ialah saat di mana transendensi melaju paling depan. Dengan begitu penulis merasa merdeka tanpa pernah pusing memikirkan harus bagaimana, syaratnya apa, nanti seperti apa dan lainya. Maka perlulah kita merenungkan pesan Gola Gong karena keterbatasan usia apalagi yang akan kita berikan selain ilmu itu sendiri. Masih kata Gola Gong bahwa bukan seberapa banyak buku yang dibaca melainkan kapan mau menuliskanya. Mari merdeka dengan menuliskan gagasan jangan terjajah oleh pikiran yang justru menenggelamkan.

the woks institute l rumah peradaban 17/8/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde