Langsung ke konten utama

Menulis dan Orientasi Pikiran ala Gol A Gong




Woks

Saya terkejut ketika satu room bersama Om Gol A Gong dalam acara webinar SPK pada 7 Agustus 2021 kemarin. Pasalnya saya sering membaca tulisan beliau dan tapi belum pernah bertemu dengan orangnya. Sejak SD tentu nama beliau dan "Balada Si Roy" selalu muncul sebagai pertanyaan saat ujian tiba. Ternyata di alam nyata Om Gol A Gong begitu enerjik dan menarik. Saya tentu terkesan dan merasa beruntung bisa mengikuti pemaparan beliau dalam menebar spirit literasi.

Saya mengenal beliau justru lewat buku Gempa Literasi: Dari Kampung untuk Nusantara (2012) yaitu buku yang memaparkan road show beliau bersama sahabat Agus M. Irkham mengunjungi Taman Baca Masyarakat (TBM) di berbagai daerah di Indonesia. Lewat buku itulah saya tahu bahwa Om Gol A Gong sangatlah memiliki visi misi yang kuat. Tidak salah jika sampai periode 2025 beliau didapuk sebagai Duta Baca Nasional menggantikan Najwa Shihab. Salah satu hal yang menarik dari beliau tentu pribadi yang asyik, visi misi literasi yang kuat dan tentunya menyentuh lapisan akar rumput. Di sisi lain beliau terlampau semangat walaupun dalam keadaan kekurangan.

Di tengah kesibukan beliau sebagai pengelola Rumah Dunia, penulis, pengisi TV dan tentunya seminar. Beliau juga rajin memprovokasi orang untuk menebar benih literasi salah satunya kemarin lewat acara webinar. Dari pemaparan beliau yang banyak itu seperti tentang base camp, kerelawanan, jejaring, dana dan lainya ada beberapa hal menarik yang saya catat di antaranya:
Pertama, berdaya bersama buku. Ya, kita tahu berdaya bersama buku tidak hanya sekadar tagline tapi justru sikap semangat beliau yang ingin mewujudkan masyarakat literat. Selama ini Indonesia masyarakatnya belum menjadi masyarakat pembaca apalagi menulis. Sehingga upaya mendekatkan buku kepada masyarakat adalah salah satu tujuan utama. Perayaan hari buku atau pada momentum tertentu selalu terselip buku. Bagi beliau misalnya lebaran buku, pesta buku atau yang berkaitan dengan buku harus diperkenalkan secara kreatif agar minat baca seseorang meningkat tanpa dipaksa.

Kedua, seperti dalam judul tulisan ini kata Om Gol A Gong masyarakat kita masih berorientasi pada perut bukan otak itu terbukti dengan banyaknya rumah makan daripada rumah baca. Perpustakaan sebagai jantung pengetahuan justru tersimpan di ujung jalan sempit bahkan kadang kumuh dan tak terawat. Maka dari sanalah Om Gol A Gong dan timnya sering menjajakan paket sembako yang lagi-lagi di dalamnya diselipkan buku.

Ketiga, gerakan Indonesia menulis merupakan sarana agar ketertinggalan literasi kita bisa diperbaiki. Lagi-lagi jika harus jujur Indonesia masih di peringkat bucit sebagai negara yang masih belum ramah terhadap bacaan lebih lagi menulis. Sebagai negara besar tentu keadaan ini jangan dibiarkan begitu saja justru harus ada sikap dari kita sebagai masyarakat untuk membantu pemerintah dari bawah. Om Gol A Gong dengan ide kreatifnya kadang kala menginisiasi kegiatan tour writing atau jalan-jalan yang output adalah tulisan. Caranya adalah peserta diminta untuk berjalan kaki menyusuri setiap sudut tempat yang disinggahi harapanya dengan menyelam ke dasar masyarakat seseorang bisa menuliskanya tanpa beban.

Keempat, memberikan ilmu tanpa batas. Statement tersebut sama seperti yang disampaikan Prof. Mulyadhi tentang transendensi menulis. Bagi Om Gol A Gong semua hal yang ia ketahui harus diberikan kepada orang lain dalam bahasa agama tidak boleh khitmanul ilmi alias menyembunyikan ilmu. Hal itu karena alasan buat apa ilmu disembunyikan lebih baik diberikan karena apa? besok kita akan mati. Semoga saja dengan memberikan ilmu tersebut bisa menjadi jariyah kita esok ketika menghadap Tuhan.

Kelima, menulis sebagai jalan pengabdian. Menurut Om Gol A Gong menulis adalah kerja-kerja intelektual yang tidak bisa dianggap remeh. Orang menulis perlu belajar, riset analisis, editing hingga finishing. Sebagai orang yang berpengetahuan tentu memiliki kewajiban untuk menuliskan pengetahuannya. Jika kesulitan dalam menulis maka upayakan menggunakan teknik creative writing yaitu sebuah teknik yang menggabungkan antara ide dan tulisan tanpa menganggap sebagai beban pikiran. Pada akhirnya yang ditulis tersebut merujuk upaya seseorang untuk mengabdi kepada masyarakat. Terakhir bukan sebanyak apapun buku yang kamu baca tapi seberapa mampunya kamu menulis. Kapan kita memulai menulis?

the woks institute l rumah peradaban 8/8/21


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde