Langsung ke konten utama

Catatan Kopdar 7 SPK Pusat dan Webnas Literasi: Sebuah Sudut Pandang




Woks

Secara pribadi tidak sulit untuk mengatakan saya sangat bahagia bisa mengikuti Kopdar SPK ke-7 sekaligus Webinar tentang literasi. Selain acaranya gratis sebagai anggota SPK Tulungagung tentu sekaligus haru karena mendapat apresiasi sebagai anggota teraktif. Saya sendiri tidak pernah membayangkan demikian, yang dibayangkan hanya menulis dan menulis itupun karena terlalu banyak waktu luang.

Apresiasi tersebut tentu saya jadikan lokomotif semangat untuk terus menjaga konsistensi. Sejak dulu proses menggapai itu mudah yang sulit adalah mempertahankannya. Bagi saya semua hal ini bukanlah perlombaan tapi lebih dari ingin menyuguhkan sesuatu yang bermanfaat. Selanjutnya setiap mengikuti acara saya punya kewajiban untuk menuliskanya terlepas itu penting atau tidak. Bagi saya menulis adalah tiket atas anugerah waktu dan pengetahuan yang tidak cuma-cuma. Barangkali menulis adalah salah satu cara membayarnya.

Saya kadang berpikir orang-orang besar, para tokoh yang ada dalam acara webinar tersebut tentu sosok yang luar biasa. Kadang diri ini punya rasa iri mereka telah mencapai apa yang disebut aktualisasi diri baik sebagai kepala keluarga, pendidik dan tentunya penulis. Tapi apa boleh buat iri saja tidak cukup. Kita perlu berkumpul dengan orang sholeh tersebut sebagai "tombo ati" agar ikut kecipratan energi positifnya. Setelah itu memanajemen iri tersebut sebagai peluru semangat yang harus dilesatkan dalam tindakan.

Benar kata Mba Wafi selaku moderator jalanya webinar, dalam acara tersebut energi positifnya sangat terasa sekali. Dimulai sejak awal Prof Imam Suprayogo memberikan suntingan motivasinya berupa menulis selama 9 tahun tanpa jeda. Tidak hanya itu Prof Mulyadhi juga tak kalah inspiratif yaitu dengan menulis tangan berbagai macam buku dan terjemah dalam tempo yang singkat. Selain itu Om Gol A Gong yang saya ketahui sejak dan dari buku-buku SD membakar peserta dengan lebih berapi-api.

Sangat disayangkan kita bersua hanya lewat zoom, andai acara tersebut terselenggara tatap muka pastinya lebih seru. Saya membayangkan akan berjumpa dengan peserta yang tentunya luar biasa. Mereka pasti satu di antara manusia langka yang diistilahkan Dr. Ngainun Naim, sebagai kelompok yang meyakini bahwa dengan berliterasi dapat mencerahkan dunia. Tidak hanya itu pastinya juga akan merawat ide dengan menulis dan mendiskusikanya.

Setelah acara tentu kita punya sebongkah semangat untuk memulai lagi menulis. Berproses tiada henti dan selalu ngangsu kawruh kepada para ahli yang telah berpengalaman dan menarikan penanya. Satu hal lagi yang tak kalah lucu dan menariknya khususon buat para jomblo kata Om Gol A Gong carilah pasangan yang penulis karena pasti hidupnya berwarna.

the woks institute l rumah peradaban 8/8/21


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde