Langsung ke konten utama

Kisah Sepotong Koran




Woks

Dalam sebuah acara Webinar Literasi, Gola Gong pernah berkisah dulu ada seorang Pak Haji di Jakarta yang sering memergokinya sedang membaca koran. Kata Pak Haji dengan polosnya berkata, "buat apa baca koran, apalagi banyak ngabisin duit aja loe. Mending buat makan, coba aja jika satu koran harganya 6000 ribu kalau satu bulan udah berapa?". Lalu dengan entengnya Gola Gong pun menimpali, "santai Pak Haji ini gak bakal rugi kok, bahkan nanti saya tidak hanya beli nasi tapi beli sekalian sama wartegnya". Pak Haji pun menyergah, "ahh yang bener loe dari baca koran bisa beli warteg?". "Beneran Pak Haji", jawab Gola Gong singkat.

Barangkali demikian sekelumit kisah seorang penulis besar sekaliber Gola Gong yang punya kisah dengan lembaran koran dan kini ia menjadi salah satu orang yang mendapat berkahnya dari membaca koran. Kata Gola Gong begitulah masyarakat kita yang masih memprioritaskan isi perut ketimbang isi kepala (pikiran). Jadi tidak heran jika membaca selalu terasa sanksi di mata orang lain.

Selain Gola Gong contoh lain misalnya N. Mursidi ia adalah salah satu penulis sekaligus wartawan Tempo yang juga terilhami dari setumpuk koran. Novelnya yang berjudul "Tidur Berbantal Koran (2012)" merupakan buah karya yang ternyata bersinggungan dengan koran. Ceritanya dulu semasa di Jogja dengan segala keterbatasannya ia bekerja serabutan menjadi loper koran. Hingga suatu saat ia terinspirasi dari seorang pengemudi becak yang tiap hari membeli koranya. Ketika ditanya untuk apa koran itu kata si bapak, "ini untuk konsumsi otak". Lantas dari sanalah N. Mursidi memulai jalan sunyinya dengan menjadi seorang penulis.

Saya pun demikian punya kisah yang juga berkaitan dengan setumpuk koran. Kebetulan saya sangat gandrung dengan koran baik bekas maupun berlangganan. Bagi orang proletar seperti saya tentu mustahil untuk berlangganan koran akhirnya saya mendapat berkah karena pernah mondok di kantor selama 6 tahun semasa di MTs dulu. Kini total sudah hampir satu dasawarsa saya bergelut dengan koran baik sebagai pembaca juga sebagai pengkliping.

Saya sangat senang ketika berkecimpung di dunia instansi yang kebetulan di sana berlangganan koran. Menariknya sesuai prediksi awal bahwa orang pasti tak punya waktu untuk membaca apalagi di tengah gempuran media sosial yang masif. Mungkin saja koran tidak menarik bahkan lewat gadget justru lebih praktis dan mudah untuk mengakses berbagai macam informasi. Tapi satu hal yang tidak akan ditemui dalam koran adalah membaca dengan merdeka.

Saya dulu sempat berpikir bahwa orang yang baca koran itu para pengangguran atau orang kaya yang duduk santai sambil minum kopi dan suka memelihara burung kicau. Tapi nyatanya tidak. Saat ini justru pembaca koran adalah mereka yang berniat mencari pengetahuan tambahan di tengah himpitan kesibukan. Dan untungnya saya adalah pengangguran yang jika koran tiba saya adalah manusia pertama yang membacanya.

Koran dan Hal-hal Baiknya

Koran merupakan salah satu media arus utama yang masih bertahan di tengah kekuatan teknologi yang masif. Mereka lantas mengikuti perkembangan zaman dengan proses digitalisasi yang tak kalah intensnya. Koran menjadi salah satu media alternatif penyedia informasi dan pengetahuan. Tentu bagi pengasong bacaan seperti saya adalah nikmat tersendiri bisa baca koran tanpa perlu mengeluarkan uang.

Akhir-akhir ini pun saya tak kalah senangnya selain bisa baca koran dari sekolah tempat saya mengabdi. Saya juga dikirimi e-koran oleh beberapa dosen secara cuma-cuma. Tentu hal itu seperti panen berkah tersendiri bagi saya yang papa akan bacaan ini. Sebut saja Dr. Dede Nurrohman, Dr. Rizqa Ahmadi dan Dr. Ngainun Naim adalah yang sering mengirimi saya pdf koran atau buku. Saya tentu senang bukan kepalang. Selain bisa membaca sepuasnya saya pun bisa mencatat hal-hal penting dari koran tersebut. Entah kesenangan itu juga sama dengan orang lain atau tidak. Yang jelas bagi saya koran telah banyak menyumbang pengetahuan tambahan.

Dari koran saya juga bisa belajar tentang rubrik terutama pada kolom opini, sastra, resensi, halte, dan editorial. Tidak hanya itu saya juga jadi kenal dengan para penulis beken yang tulisanya selalu bertengger di badan koran dengan nama dan foto yang besar. Tokoh-tokoh seperti Prof. Azyumardi Azra, Buya Syafi'i Ma'arif, Muhyiddin M. Dahlan, Eka Kurniawan, Okky Madasari, Saras Dewi, Bandung Mawardi menjadi salah satu langganan penulis yang harus saya baca. Bahkan tak tanggung-tanggung dari tulisan mereka saya menjalin ikatan emosional contohnya esais, kolumnis sekaligus cerpenis Prof. Budi Darma yang baru saja berpulang. Saya merasa kehilangan beliau padahal kami belum pernah berjumpa. Saya hanya menjadi santri ideologis karena sering membaca tulisan beliau akan tetapi dari sana justru hati saya malah gerimis.

Begitulah kiranya dampak orang membaca koran memang memiliki efek yang luar biasa. Selain wawasan bertambah kita juga diajak dialog dengan segala macam pemikiran dan gaya bahasa penulisnya. Bahkan sesekali saya berharap bisa seperti mereka yang bisa mewarnai jagat koran dengan gagasan dan tulisan. Dari koranlah saya juga menjadi lebih dekat dengan karya Kang Jalal, Gus Dur, Cak Nur, Gunawan Mohamad, AS Laksana, Prof. Mulyadi Kartanegara, hingga Radhar Panca Dahana . Lewat koranlah hal yang jauh terasa dekat. Kisah ini hanya sekilas pastilah anda juga punya kisah serupa seperti saya bahwa lewat sepotong koran kita diajak mengintari seisi dunia.

the woks institute l rumah peradaban 22/8/21

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde