Langsung ke konten utama

Kemerdekaan tentang Mengenal Diri Sendiri




Woks

Sebenarnya saya kurang setuju jika kemerdekaan selalu diidentikkan dengan menguasai zaman berdasar teknologi. Sampai-sampai ada jargon dengan teknologi bisa menjadi kuasa. Pernyataan tersebut sebenarnya berkamuflase. Ia sebenarnya mengandung bisa yang lagi-lagi hanya soal kekuasaan dan ekonomi. Apalagi yang pernah diwacanakan di negeri ini misalnya proyek Silicon Valley atau bukit Algoritma di Sukabumi, Geopark Komodo di Pulau Rinca ingga kampung IT dan lainya. Bukankah Jepang bangun dari tidur setelah terpuruk pasca bom atom karena justru memegang erat budayanya. Walaupun banyak juga yang timpang tapi mereka membuktikan dalam waktu singkat bisa bangkit dan menjadi negara maju.

Saya rasa Indonesia perlu berkaca untuk mengenal dirinya sendiri. Tema mengenal diri sendiri tentu menarik untuk dihayati. Dalam konteks manusia sebagaimana individu misalnya perlu terus introspeksi karena selama ini seseorang lebih mengenal orang lain atau bahkan lebih peduli urusan orang ketimbang diri sendiri. Kita memang selalu lebih peduli terhadap rumput tetangga daripada pekarangan rumah sendiri. Disini lah pentingnya kita mengenal diri sendiri.

Secara psikologis bisa jadi seseorang sangatlah mampu menilai diri sendiri. Misalnya dikala seseorang dengan mudah marah bahkan sampai menghardik jangan-jangan itu bukan dirinya yang asli. Bisa jadi itu adalah cara setan menitis pada jiwa seseorang. Bukankah tabiat asli manusia adalah justru menuju pada kebaikan. Maka jika hal buruk muncul sangat mungkin itu diri sendiri yang tengah dikuasai oleh nafsu. Belenggu nafsu memang memudarkan kedirian sehingga mudah lupa dan terlena.

Jati diri bangsa tentunya perlu dimunculkan kembali. Usia 76 tahun tentu sudah terlampau dewasa jika nanti lupa atau pikun. Jati diri bangsa seperti ramah, rendah hati, pelestari budaya, saling menghormati, moderat dan sikap lainya justru merupakan modal berharga. KH. Said Aqil Siradj bahkan sering mengatakan bahwa bangsa Nusantara justru lebih baik daripada bangsa Arab yang sejak dulu hingga kini tak berkesudahan dalam konflik entosentrisme kesukuan, rasial hingga politik kekuasaan. Sedangkan bangsa Nusantara justru telah mencontohkan sejak berabad-abad lamanya akan arti sikap saling menghormati satu sama lain. Maka dari itu tidak aneh jika para utusan Tuhan banyak di turunkan di daerah jazirah Arab.

Mengenal jati diri sendiri sangatlah penting sampai-sampai diri menjadi topik utama dalam menggali sejarah yang terpendam. Persoalan bahasa misalnya, Ivan Lanin selalu mengkampanyekan untuk merawat bahasa daerah, menggunakan bahasa Indonesia dan kuasai bahasa asing. Sampai hari ini pun konsep mengenai kedaerahan kita masih rapuh apalagi saat ini gempuran westernisasi begitu deras. Almarhum Ki Manteb Sudharsono beliau adalah dalang yang gigih memperjuangkan agar wayang diakui dunia. Tapi melihat realita yang ada apakah generasi muda cinta dengan wayang. Justru sebaliknya budaya K-Pop misalnya justru malah sangat laris manis.

Hal-hal yang telah disebutkan demikian memang suatu yang niscaya dan tidak bisa ditolak. Intinya bagaimana kita kembali untuk segera mengenali diri sendiri. Selama seseorang belum mampu mengenal dirinya berarti selama itu ia masih terjajah. Saat kedirian masih belum ditemukan bagaimana bisa mengenal orang lain atau bahkan Tuhan. Rasanya penemuan itu memang membutuhkan kegigihan dan proses waktu yang lama.

the woks institute l rumah peradaban 18/7/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde