Langsung ke konten utama

Menikah dan Kematian





Woks

Beberapa orang teman terdekat nampak begitu gelisah menghadapi masa depan apalagi jika dihadapkan dengan topik menikah. Orang tersebut begitu khawatir jika nanti tidak bekerja, tidak menikah bisa jadi ia dianggap perjaka tua atau bahkan gagal hidup. Setelah aku telusuri ternyata dia bukan santri yang percaya kiainya. Ia hanya santri biasa yang kebetulan pernah mondok lalu keluar dan bekerja. Kini hidupnya tragis ia selalu dirundung kegalauan karena baru saja ditinggal nikah oleh pacarnya.

Mendengar kisah tersebut tentu aku merasa risih apalagi ketika melihat status nya yang ia curahkan di media sosial. Dampaknya adalah notifikasi medsosnya tersebar ke segala arah. Anda pasti tahu isinya hanya keluhan, kerapuhan, ketidakyakinan, dan seolah tak percaya takdir. Bagi ku jika pun kita kekurangan semua orang adalah sama yang membedakan hanyalah takwanya.

Kegalauan yang berlarut-larut seharusnya tidak boleh dibiarkan apalagi sampai orang lain mengetahui. Apakah sudah tidak ada hal privat yang orang lain tak boleh mengkonsumsinya. Seseorang perlu berpikir jernih untuk menciptakan kondisi baru yang menguntungkan. Jika pun seseorang mengeluh seribu kali tentu tak akan merubah apapun. Lebih baik lakukan kerja-kerja kehidupan, optimis dan serahkan kepadaNya.

Sungguh menikah itu tidak jauh beda dengan kematian. Dua hal itu adalah bagian dari takdirnya yang tidak bisa ditolak. Kita boleh saja memilih berpasangan dengan siapapun tapi kita tidak bisa memesan menikah dengan siapa. Termasuk topik kematian seseorang pun tak akan pernah tau kapan mati dan disaat seperti apa mereka mengakhiri hidup. Bukankah ada takdir yang bisa dirubah atau takdir yang mutlak tidak bisa dirubah. Jika seseorang telah yakin pada ajaran agamanya pasti ia tidak akan berpikir kecuali semua hal sudah digariskanNya.

Perbedaan menikah dan kematian hanyalah terletak pada faktor ketersengajaan atau tidak. Jika menikah atau tidaknya seseorang bisa mengusahakannya tentu hal ini dilihat kehendak Tuhan sebagai jalan ikhtiar manusia. Sedangkan kematian hanya disengaja karena belum waktunya disebut bunuh diri. Maka dari hal itulah seharusnya manusia berpikir ulang bahwa jodoh sebenarnya sudah disiapkan tinggal bagaimana sikap kita menjemputnya atau berpangku tangan. Termasuk soal kematian tidak usah ditunggu justru ia akan datang di saat waktunya tiba.

the woks institute l rumah peradaban 25/8/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde