Langsung ke konten utama

Dakwah Habib Luthfi bin Yahya: Gerakan Cinta Tanah Air


Sumber foto: Aswaja Dewata.com

Woks

Habib Luthfi bin Yahya menjadi salah satu ulama bersama Almaghfurllah Mbah Moen yang sangat getol dalam dakwah dengan muatan agama dan nasionalisme. Habib Luthfi bin Yahya tentu sangat menghayati penuh syair karya Mbah Wahab Chasbullah tentang cinta tanah air bahwa tanpa rasa cinta terhadap bangsanya kita hanya akan dipecah belah seperti halnya Timur Tengah. Beliau sangat sadar seperti halnya sejarah telah membuktikan bahwa negara Indonesia tengah berada di antara rongrongan baik dari luar maupun dari dalam negeri sendiri.

Kita tentu tahu sejak dulu gerakan separatis, upaya membelot, bughot, kudeta, aksi teror, radikalisme hingga upaya menghancurkan dari dalam sudah ada sejak lama. Maka tidak salah jika negara dan Pancasila selalu berada pada titik ancaman yang serius. Upaya penegakan khilafah dan mengubah Pancasila selalu menjadi tantangan di era-era masa kini bahkan hingga penegakan demokratisasi yang kian hari semakin memanas. Di sinilah pentingnya membentengi masyarakat dengan upaya deradikalisasi, menebar dakwah cinta, membuka peta pemikiran, dan menancapkan semangat nasionalisme. Hanya dengan cara itulah kita akan terus berkaca pada sejarah bahwa masa yang kelam sudah terjadi dan jangan sampai terulang lagi di masa depan.

Habib Luthfi menyadari betul bahwa bangsa ini terdiri dari pulau-pulau yang harus disatukan, jika tidak bisa disatukan karena perbedaan setidaknya alasan bangsa sebagai rumah sendirilah hal yang paling rasional. Karena bagaimana mungkin kita bisa menegakan nilai-nilai agama jika negaranya tidak ada. Hal itu senada seperti kata KH. Afifuddin Muhajir bahwa tanpa negara tujuan syariat Islam tidak akan tercapai. Karena, menurut beliau, negara dan agama Islam merupakan simbiosis mutualisme. (Machfud, hlm. 218). Tapi walau demikian ironisnya masih ada warga negara sendiri yang terpapar paham menyimpang dengan tujuan mengikis moral dan mengusik negaranya sendiri. Para jihadis, ekstrimis termasuk teroris baik lewat senjata maupun pengedar narkoba sama-sama musuh kita yang selalu mengintai. Belum lagi kehadiran jagat medsos yang kian hari memperkeruh keadaan lewat berita hoax, caci maki, adu domba dan pecah belah lainya menjadi sasaran dakwah yang harus dijernihkan.

Habib Luthfi yang juga seorang mursyid sangat terpanggil untuk berkontribusi kepada masyarakat. Sehingga beliau berpikir ke depan buat keberlangsungan bangsa dan negara harus ada sesuatu yang menjadi pedoman dalam mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan yang inklusif. Dalam penelitian Machfud Syaefudin dijelaskan bahwa strategi Habib Luthfi dalam menyemai gerakan dakwah nasionalismenya yaitu dengan cara membingkai rangkaian maulid Kanzus Sholawat dalam nuansa nasionalisme, menyelenggarakan konferensi dan forum ilmiah cinta tanah air, menggalakkan dan menyanyikan syair lagu berwawasan nasionalisme, menyusun rangkaian acara bernuansa nasionalime, mendesain dan memasang spanduk dan famplet yang kental dengan nuansa keindonesiaan, serta menjalin silaturahmi dengan berbagai kelompok anak bangsa. (Machfud, hlm. 215).

Dakwah Habib Luthfi seperti kita tahu tidak hanya menyentuh kalangan alit tapi juga kalangan elit, maka tidak salah jika beliau adalah ulama samudera yang menampung setiap aliran sungai. Beliau memang dikenal dekat dengan siapa saja dan pastinya memiliki sikap toleransi yang tinggi baik dengan yang berbeda agama, suku, ras hingga musik. Beliau yang pecinta musik itu tentu berpikir jernih bahwa untuk menyentuh masyarakat terutama kalangan akar rumput harus dengan strategi humanis agar orang tidak lari. Lalu beliau pun memperluas dakwahnya dengan berjejaring lewat forum sufi dunia. Tujuanya tentu mengajak semua elemen baik skala lokal hingga global untuk mewujudkan kedamaian dan ketentraman. Dengan kondisi damailah orang bisa menjalankan ajaran agamanya tanpa perlu mengusik liyan.

Jika berkaca sekitar 1000 tahun yang lalu Nabi Muhammad saw telah membuktikan bahwa beliau diutus sebagai Rahmatan Lil Alamiin maka pantaslah jika Habib Luthfi pun ingin menerapkan apa yang dilakukan oleh Daktuknya bahwa dakwah bil hikmah sangatlah penting guna menciptakan kesadaran sebagai bangsa yang beragama dan berbudaya. Habib Lutfi menegaskan bahwa kesadaran nasionalisme yang dalam sejarahnya telah berkembang lama lewat para ulama, Walisongo harus terus disemai sejak dini karena dengan tekad memiliki dan bangga pada bangsanya kita bisa bersatu teguh. Dengan persatuan yang kokoh itulah harapanya kita kuat dan tak bisa dipecah belah.

*Artikel ini diolah dari berbagai sumber utamanya Jurnal Ilmu Dakwah Vol.37 No.2 2017 dengan judul "Gerakan Dakwah Cinta Tanah Air Indonesia (Strategi & Metode Dakwah Habib Lutfi Pekalongan)" tulisan Machfud Syaefudin.

the woks institute l rumah peradaban 12/5/21



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde