Langsung ke konten utama

Obsesi




Woks

Manusia sejak ratusan tahun silam telah terobsesi ingin menjadi apa yang diinginkan. Karena kuasa dan kesombongan manusia merasa dirinya pantas dipuja. Begitulah gambaran singkat obsesi manusia yang ingin menandingi kekuasaan Tuhan. Ramses IV atau yang kita kenal dengan Raja Fir'aun adalah salah satu nama populer yang terobsesi mengklaim diri sebagai raja diraja. Karena obsesilah manusia kecil tak berdaya nampak begitu pongah di hadapanNya.

Manusia memang sangat mudah untuk terobsesi dengan sesuatu. Bahkan kadangkala obsesi itu tidak masuk akal dengan keumuman masyarakat. Sebenarnya obsesi telah mengacaukan cinta, sebab hak dasar cinta yang sejatinya memberi ruang justru karena obsesi berlebihan semua nampak mengekang. Obsesi menjelma pikiran yang selalu negatif, manusia menjadi mudah curiga dan paranoia.

Manusia selalu akan terobsesi dengan apa yang dilihatnya. Mereka selalu merasa ingin karena obsesilah sesuatu yang di luar dirinya muncul. Bahkan sesuatu yang nampak tidak penting begitu penting di mata mereka. Obsesi telah mengubah pandangan yang sebenarnya hanya sesaat. Seolah-olah semua ingin dimiliki dan memang obsesi menghamburkan semua pandangan menuju yang ideal. Padahal selama ini idealis tidak pernah terlahir kecuali karena ada pertentangan yang harus dimenangkan. Lagi-lagi pertentangan itu selalu berkonotasi negatif.

Selama ini kita mencatat obsesi seseorang ingin menjadi seperti A cuma karena menonton sinetron sesaat. Termasuk ingin memiliki barang berharga setelah ia melihat tetangganya baru saja membeli barang serupa yang ia inginkan. Ada juga yang selalu bersikap imitatif dengan apa yang ia idolakan sampai-sampai ia lupa daratan untuk selalu meniru gaya artis idola. Terlepas bagaimana menggapainya yang jelas obsesi memaksa hal itu harus tercapai.

Dalam konteks dunia misalnya, para sufi mengkritik orang-orang hubbud dunya yang tak lain karena obsesinya kepada dunia berlebihan. Apa yang mereka anggap sebagai kesuksesan dunia tersebut selalu menjadi perburuan utama. Mereka sibuk menumpuk dan menimbun harta benda dengan dalih nikmat dan keabadian. Padahal apa yang mereka tuju itu tak lain hanya persepsi dari cinta yang obsesif. Dalam hal ini kaum sufi lewat gerakan zuhudnya mewanti-wanti agar kita segera berserah diri. Sadar bahwa semua gemerlap duniawi hanya tipuan mata sekilas. Semua yang nampak indah di dunia padahal hanya nikmat semu yang tidak boleh dibela mati-matian. Karena saat kematian tiba pun semua yang telah terobsesikan tadi tak akan ada yang dibanggakan. Semua akan sirna bersama debu angan-angan dan kenyataan.

Maka dari itu kesadaran untuk memiliki obsesi akhirat juga penting. Dalam hadits dikatakan bahwa saat kau mencari dunia ingat hidup selamanya tapi saat ingat akhirat kau seperti akan mati besok. Andai obsesi yang ada pada diri manusia mampu dikendalikan niscaya obsesi untuk menguasai dunia melalui oligarki politik ekonomi tak akan terjadi.

the woks Institute l rumah peradaban 9/5/21


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde