Langsung ke konten utama

Jejak Dakwah Habib Luthfi bin Yahya dan Indramayu


Sumber foto: Era.id

Woks

Era 80an mungkin kita mengenang hingga awal milenium tiba, murid-murid dan banyak kalangan termasuk pondok pesantren di Jawa selalu menghadirkan Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani. Tokoh ahli hadits dan pendekar ASWAJA di tanah Haramain itu selalu menjadi tamu istimewa bagi umat Islam di Indonesia yang selalu dielu-elukan kehadirannya. Banyak di antara murid beliau dalam bahasa kini yaitu nge-fans berat dengan sosok beliau sehingga menghadirkan beliau dalam sebuah majelis adalah kenikmatan besar yang Allah hadirkan.

Beranjak ke tahun 90an atau tepatnya tahun 94 (20 Rabiul Akhir 1414 H) Habib Anis al Habsyi Solo memperkenalkan Al Habib Umar bin Hafidz untuk pertama kalinya di Indonesia. Ulama peneduh jiwa yang kita sebut sebagai guru mulia itu bahkan hingga saat ini masih rajin mengadakan rihlah dakwahnya ke Indonesia. Tentu kita sangat beruntung ulama besar nan panutan seperti beliau sudi datang kepada jutaan umat Islam Indonesia yang beragam ini. Kita tentu tahu seperti Abuya Al Maliki, Habib Umar bin Hafidz yang dari Tarim Hadramaut Yaman itu juga merupakan guru dari setiap ulama dan habaib yang ada di Indonesia. Maka tak salah jika dalam tour dakwah beliau selain sebagai juru dakwah juga sebagai pangemong bagi setiap murid-muridnya.

Jauh dari semua itu kita juga merasa bangga bahwa bumi yang dikasihi ini masih ditunggui oleh habaib dari berbagai kalangan dan marga. Mereka semua hadir hingga pelosok negeri hanya untuk menunggui agar agama Allah swt tersyiar dan orang bisa belajar kepada akarnya yaitu melalui cucu Nabi Muhammad saw itu. Rasa bangga dan terhormat pun terpancar dari bumi Wilalodra Indramayu Jawa barat.

Kita tentu tahu bahwa di Indramayu merupakan salah satu wilayah di mana kota kecil dekat pesisir Pantura ini salah satu yang menjadi sasaran dakwah habaib dan di antaranya yang terkenal yaitu al Habib Umar bin Toha bin Yahya yang merupakan buyut Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan. Habib Umar merupakan salah satu di antara habaib yang mendiami wilayah ini (Karangmalang Indramayu) selain sebagai juru dakwah juga ahli ilmu yang mendirikan pondok pesantren. Beliau hidup sezaman dengan al-Habib Utsman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya mufti Batavia. Kita tentu tahu dalam sejarah Habib Luthfi bin Yahya menimba ilmu di Gedongan, Bendakerep Cirebon hingga ke Indramayu dan yang dimaksud tak lain di pondok buyutnya sendiri. Buyut Habib Luthfi lah tak lain merupakan guru yang melahirkan ulama seperti Mbah Muqoyyim (mufti keraton Cirebon dan pendiri pondok Buntet), Mbah Abbas bin Abdul Jamil (Buntet Pesantren), Mbah Abror (Bendakerep), KH. Abdul Halim Majalengka dll.

Seperti yang pernah didawuhkan Abuya Al Maliki bahwa ulama Jawa itu sangat ramah terhadap siapapun maka tak heran jika mereka juga sangat respect dengan kehadiran cucu Nabi itu. Baru mendengar namanya saja kita memang sangat senang apabila sampai didoakan dan yang akhir kita bisa berfoto bersamanya. Dalam hal ini tentu saya punya pengalaman bagaimana ingin sekali bertemu dengan habaib yang wajahnya bersinar itu.

Dulu ketika saya masih MTs sebelum majelis sholawat masif dipimpin seorang habib, misalnya pimpinan Habib Syeikh bin Abdul Qodir Assegaf, saya beserta rombongan ada Ustadz Zakariya, Ustadz Hariri, Ustadz Hayadi, Ustadz Kusnata dan Ustadz Agus Suhendra kalau tidak salah hingga larut malam kami hadir dalam satu majelis dzikir yang akan dihadiri oleh Habib Lutfi bin Yahya. Pada saat itu kami menuju lokasi acara yang ada di Desa Temiyangsari dan kebetulan untuk menuju ke sana kita harus melewati jalanan panjang zona lokalisasi CI. sampai di sana jamaah semakin membludak hingga akhirnya kami tahu bahwa Habib Luthfi bin Yahya tidak bisa hadir diacara itu tapi anehnya jamaah malah semakin banyak. Hal itu bisa saja karena sosok kharismatik itu selalu dinanti oleh ribuan jamaahnya.

Habib Luthfi bin Yahya yang kini kita kenal sebagai ketua forum sufi dunia yang juga salah satu dari 100 muslim berpengaruh di dunia tentu sangat faham dengan medan dakwahnya. Selain paham dengan keilmuan agama, dakwah beliau juga pandai berbahasa ngapak termasuk gelar honoris causa dari UNNES karena cara komunikasi dakwah beliau yang dinilai berhasil. Indramayu sebagai salah satu kota kecil dekat pesisir tentu sangat beruntung pernah disinggahi beliau sebagai ulama pemersatu bangsa. Ulama yang selalu menggelorakan semangat nasionalisme dan selalu mengingatkan bahwa antara NU dan habaib jangan mau diadu domba, jangan mau dipecah belah. Kita memang perlu memegang teguh pesan beliau itu.

the woks Institute l rumah peradaban 11/5/21






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde