Langsung ke konten utama

Jurnalis Sang Juru Tulis Kehidupan





Woks

Ratu dunia ratu dunia, oh wartawan ratu dunia//Apa saja kata wartawan//mempengaruhi pembaca koran. Demikianlah penggalan syair "Wartawan Ratu Dunia" yang dilantunkan oleh Nasida Ria grup qasidah modern legendaris asal Semarang. Syair karya Drs. Abu Ali Haidar alis KH. Buchori Masruri tersebut sejatinya ingin menjelaskan betapa besarnya peran wartawan atau bahasa kekinian sebagai jurnalis dalam menarasikan dunia lewat media pemberitaan.

Jika kita tarik sejarah masa silam di mana burung Hud-hud sangat besar perannya dalam menginformasikan keberadaan kerajaan yang konon dipimpin oleh seorang ratu yang menyembah selain Allah swt. Tidak hanya itu dulu Acta Diurna (100-44 SM) era Romawi kuno ditandai sebagai produk jurnalistik pertama dalam sejarah di mana orang-orang merasa diuntungkan dengan mengetahui dunia luar lewat tulisan yang tersemat pada sebuah papan terbuat dari batu dan logam tersebut.

Kita bisa bayangkan sejak dulu manusia memang selalu haus akan informasi. Maka tidak salah jika tugas pemberi kabar sangatlah penting sebagai tanda bahwa peradaban itu dinamis. Akan tetapi menjadi seorang jurnalis itu tidak mudah. Kita tidak hanya dituntut bisa menulis tapi lebih dari itu yaitu dapat dengan jernih melihat realitas sosial, peka terhadap problematika dan tentunya punya hati nurani.

Tentu kita tahu seorang jurnalis itu banyak macamnya seperti jurnalis warga, pantau, parlemen, investigasi, kriminal, hingga perang. Mereka tentu memiliki bobot dan medan yang berbeda dalam hal yang dihadapi. Barang tentu jurnalis investasi atau yang berada di daerah konflik pastinya akan bertaruh nyawa. Maka tidak salah ketika berita naik alias siap dimuat jurnalis kategori ini akan mendapat bayaran yang lebih besar. Akan tetapi untuk dapat dimuat pastinya tidak semudah itu karena akan ada banyak hal, pertimbangan hingga unsur politik. Tak kalah menariknya jurnalis-jurnalis itu akan berhadapan dengan hati nurani, idealisme dan bukan rahasia umum lagi bahwa dalam dunia jurnalis kejujuran bisa sangat mudah dibeli.

Sejauh mata memandang, jurnalis telah berjasa besar dalam membuka ruang dunia di mana informasi yang jauh terasa dekat dan dunia dalam genggaman. Informasi di ujung dunia bisa sangat mudah kita dapatkan karena ada pemberitaan. Tapi jika kita teruskan lewat syair Nasida Ria Bila wartawan memuji, dunia ikut memuji// Bila wartawan mencaci, dunia ikut membenci// Wartawan dapat membina, pendapat umum di dunia. Syair tersebut menjadi tanda bahwa peran jurnalis dalam mempengaruhi pembacanya sangatlah besar. Hal inilah yang selama ini kita sebut sebagai konstruk media. Sehingga media dan pemberitaan sebenarnya ibarat katub, tombolnya hanya satu yaitu sang jurnalis itu sendiri.

Dunia bisa sangat mudah diframing dengan hanya mengubah saja bentuk pemberitaannya. Begitulah jika jurnalis sudah memainkan peranya dunia bisa jadi memuji atau mencaci hal ini tergantung seberapa kepentingan yang ada di dalamnya. Maka dari itu tantangan terbesar menjadi jurnalis adalah melawan kepentingan dirinya sendiri. Maka tidak salah jika sebagian orang berpendapat bahwa media pemberitaan seberapapun independennya ia masih tergolong sampah hal itu akan diperparah ketika kontestasi politik bergulir dalam suatu daerah tersebut.

the woks Institute l rumah peradaban 16/5/21










Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde