Woks
Pendidikan tentu kita tahu makin hari semakin bergeser jauh dari pengertian awalnya yaitu taman sekaligus belajar. Taman yang memang bersungsi sebagai tempat menyenangkan dan seharusnya pendidikan itu menyenangkan bukan malah menekan. Tentu kita tahu saat ini ironi pendidikan semakin kentara di mana satu orang anak harus mencecap berbagaimacam mata pelajaran. Padahal dari beragam mata pelajaran itu belum tentu semua bermanfaat dalam fungsi praksisnya.
Di sinilah pentingnya kita menciptakan pembelajaran yang proporsional yaitu sesuai dengan kebutuhan anak. Belajar sastra misalnya saat ini sangat jarang kita temui anak-anak mendeklamasikan puisi, mengekspresikan cerita lewat lakon, menulis cerpen dan membacakanya, bernyanyi dengan gestur dan bermain peran lewat teater. Sangat jarang sekali anak-anak diajari sastra karena memang gurunya tidak memiliki daya menuju ke sana. Bahkan guru bahasa Indonesia sesungguhnya tidak menyukai bahasa dan budayanya sendiri. Coba saja kita survei berapa guru bahasa Indonesia yang memiliki minat dalam dunia literasi? Hal ini pula yang menjadi fakta bahwa pelajaran paling sulit adalah bahasa Indonesia. Jika pun anak mendapat nilai besar dalam ujian apakah lantas dalam fungsi praksisnya mereka dapat berbicara bahasa Indonesia dengan baik dan benar, ah rasanya belum tentu.
Kita kembali ke topik sastra dan anak di mana dulu sastra adalah metode yang sangat dekat dengan anak. Kita tahu beberapa kali mereka diajari untuk mengekspresikan dirinya lewat media tulis melalui produk sastra seperti cerpen dan puisi. Bukti bahwa dulu kaya adalah selalu ramainya anak-anak antri di depan mading (majalah dinding). Mereka selalu penasaran karya siapa yang dimuat untuk ditempel di sana atau bahkan semakin kagum dengan beberapa bait puisi. Tapi sayang kini selain mading itu mati kita juga hanya mendapati beberapa karya sastra copas made in internet. Hal itu juga yang berkembang di dunia guru yang selalu mencomot dan men-share karya orang lain. Kini anak-anak tidak lagi akrab dengan cerpen, puisi, novel, gurindam, pupuh, sajak, syair, pantun, pepatah, qasidah, mahfudzot, dll.
Padahal dulu anak-anak sejak dini sudah diajari membuat puisi salah satu manfaatnya agar pengetahuan bahasa mereka berkembang. Siapa bilang membuat puisi itu mudah, justru membuat puisi itu sulit bahwa orang dewasa yang tidak akrab dengan puisi pun akan kesulitan. Puisi bukan sekadar parade kata-kata makanya tidak sembarang kata dapat disusun menjadi puisi tapi bisa saja setiap kata punya makna tersendiri walaupun diacak menjadi karya puisi.
Selama ini kita telah keliru bahwa mengajari anak sastra adalah agar mereka pandai merayu. Kesalahan itulah yang kini harus segera diluruskan bahwa mempelajari sastra agar anak bisa berhati-hati dalam berbicara, selain itu agar mereka terampil dalam mengekspresikan diri lewat medium kata dan bahasa. Justru lewat sastra itulah merupakan seperangkat teknologi canggih agar mereka menelaah, memahami lebih jauh dan mempelajari salah satu karya klasik ini. Alfred Gell, seorang antropolog agama dan seni mengatakan bahwa sastra adalah teknologi pesona (technology of enchantment) maka tak heran jika sastra bisa menjadi sarana politik maupun seperangkat alat yang bisa membius dan memperdaya. Lewat sastralah daya semunya justru bisa ditangkap sebagai sebuah gerakan tersembunyi yang tidak semua orang memahaminya. Yang paling terkenal mungkin sastra sebagai perlawanan ala Pramoedya dan Widji Thukul.
Cara sederhana mengajari anak sastra adalah dekatkan mereka dengan tokoh dan bacaan sastra misalnya ajak memahami beberapa keindahan dalam al Qur'an, mahfudzot, kalam atau syair ulama dan lainya termasuk memberi pemahaman bahwa bahasa itu kaya misalnya di Jawa untuk menyebut nasi, makan, tidur atau kata apapun itu sangat beragam. Dari sana nanti akan ketemu pembelajaran yang dimaksud yaitu anak akan punya lebih, dalam hal perbendaharaan kata-katanya. Mengapa pembelajaran sastra sangat penting? selain mendekatkan mereka dengan karya sastra, mereka juga diajak untuk menyelami lebih jauh, membuatnya dan yang lebih penting adalah membentengi dari budaya pop, gadget, dan sinetron yang telah mengkonstruk bahasa mereka terutama di lingkungan sehari-hari.
Karena sastra adalah bahasa hati maka dari itu mulailah sejak dini anak harus kembali diakrabi dengan karya dan bahasa sastra. Mulailah dengan sesuatu yang sederhana bukankah bahasa ibu adalah bahasa batin yang melahirkan kasih sayang dan kepekaan. Apakah saat ini bahasa itu sudah ditinggalkan jika memang kita tak ingin mendengarnya maka sejatinya kita perlu membuka lagi peta pelajaran lama bahwa sastra itu penting. Kita tutup tulisan ini dengan pesab Umar bin Khattab bahwa ajarilah anakmu sastra agar hatinya lembut. Wallahualam bishawaab.
the woks Institute l rumah peradaban 10/5/21
Komentar
Posting Komentar