Woks
Tulisan ini bukan tentang novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Shaadawi tapi ini tentang tradisi saling bermaafan yang berkembang di masyarakat kita. Tradisi saling bermaafan tentu sebuah kekayaan lokal yang sebenarnya citranya sangat global. Memaafkan seperti yang kita tahu adalah anjuran dari Kanjeng Nabi Muhammad saw di mana jika sesama muslim saling bermaaf-maafan maka ia akan diampuni sejak tiba hingga kepergiannya.
Tradisi saling memaafkan atau yang biasa dikenal dengan halal bi halal merupakan aset berharga yang dimiliki bangsa ini. Ketika negara lain bertikai berebut benar justru masyarakat kita mencontohkan untuk sama-sama mengakui kesalahan. Sehingga saat satu dengan lainya saling memberi maaf saat itulah manusia kembali ke fitrahnya yaitu mulai dari nol. Manusia terasa terlahir kembali karena apalah artinya status, jabatan, kekayaan atau apapun itu jika ia masih memiliki kesalahan dengan orang lain maka tidak ada gunanya semua materiil itu.
Kita tahu bahwa memiliki kesalahan kepada Allah swt dengan berhusnudzon sungguh Dia maha luas ampunanya, sedangkan bermasalah dengan manusia tidak semua orang mau memberi maaf. Di sinilah pentingnya kita memberi maaf terhadap sesama. Dengan demikian tradisi ini tentu sangat penting sekali walaupun terjadi hanya satu tahun sekali akan tetapi esensinya setiap hari. Jika bukan karena tradisi ini bisa saja kita merasa malu untuk sama-sama mengakui kesalahan dan memberi maaf.
Dengan tradisi saling bermaafan itulah kita berhutang jasa kepada Mbah Wahab Chasbullah karena atas usulan beliau pada 1948 kepada Bung Karno tradisi halal bi halal dapat terwarisi hingga kini. Tentu kita tahu saat itu banyak di antara para tokoh saling berseteru karena memang pergolakan politik sedang memanas, maka atas saran Mbah Wahab kepada Bung Karno itulah tradisi yang kita sebut sebagai saling memaafkan bertahan hingga kini.
Bisa kita saksikan secara langsung di lapangan betapa indahnya tradisi ini di masyarakat. Walaupun dua tahun ini pandemi masih berlangsung tapi bagi masyarakat desa tradisi saling bermaafan ini tidak boleh luntur. Bahkan ada yang bilang bahwa di balik politik pandemi ada wacana untuk mengikis tradisi halal bi halal tersebut. Jika hal itu terjadi tentu sangat tidak lucu bahwa tradisi yang baik bisa kalah karena keadaan dan rasa gengsi.
Padahal jika dilihat orang-orang rela hilir mudik ke sana kemari demi memintakan maaf minimal dengan sesama tetangga. Mereka hanya ingin hari itu dilapangkan dari segala kesalahan baik sengaja atau tidak disengaja. Maka dari itu hari itu tangan dan pintu selalu terbuka untuk sama-sama saling memaafkan bahkan pintu-pintu langit pun terbuka lebar menyambut pahala orang-orang yang saling merelakan diri memaafkan saudaranya.
the woks Institute l rumah peradaban 15/5/21
Komentar
Posting Komentar