Langsung ke konten utama

Woks Institute (Melihat-Mencatat Kehidupan)




Tentang

Woks Institute adalah sebuah kanal yang berisi ikhtiar kecil dalam mencatat arus kehidupan. Media ini meyakini bahwa pencerahan bisa diraih lewat menulis. Menulis sebagai jalan takdir dan pembebas dari keterpasungan jiwa.

RUBRIK

Mata Air (Agama, Budaya, Keislaman, Pesantren, Local Wisdom, Ibadah, Kisah)
_ Bilik Sastra (Puisi dan Cerpen)
– Jendela (Wacana, Gagasan, Esai, Opini, Tips-Trik)
Ekstraksi (Resensi Film, Buku, Ceramah)
Kaca Mata (Temuan, Berita, Aktifitas, Pinggiran) 
Canda Candu (Seni, Humor, Hiburan)
Cuap-cuap (Wawancara, seminar atau Ulasan Tokoh)
Tapak Jejak (Mengenang Sosok & Ruang Komunitas)
-- Obituari (Berita berpulanganya seseorang yang istimewa)
-- Pod-Writes (Wawancara dengan sahabat yang menginspirasi)
-- Hidangan Khusus (Ulasan yang terdiri atas beberapa edisi)
-- Liputan Khusus (Rekam jejak sebuah peristiwa)

Redaksi & Penulis

Mayoritas dalam kanal tulisan ini diisi oleh the woks Institute karena sejatinya ia adalah user dan server utama.

Kirim Tulisan

Daripada kirim tulisan ke media lain masih mending buat media sendiri lalu sebarkan ke penjuru dunia.

Alamat Redaksi

Jalan Kerinduan No. 96 atau Kampus Alam Semesta Fakultas Pembelajar.

Kontak Kami

WA: 082230961945
FB: Almahry Reprepans
IG: Almahry Repans/Bang Woks
E-mail: woksma@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde