Langsung ke konten utama

Membaca Sejarah Masuknya Habaib ke Indramayu


Sumber foto: Energi bangsa.id


Woks

Jika hanya spekulasi mungkin kita mudah saja beropini bahwa masukanya kalangan habaib atau turunan Arab yaitu melalui jalur perdagangan terutama saat Samudera Pasai, Perlak, Malaka masih berkuasa. Tapi teori tersebut tidak semudah itu, akan tetapi tidak salah juga mengartikan demikian. Termasuk teori masuknya Islam ke Indonesia sekitar abad 7 selain melalui jalur perdagangan juga lewat ajaran tasawuf dan ada yang mengatakan dibawa oleh para santri yang pernah mukim dan belajar di Haramain bahkan kalangan orang-orang yang berhaji.

Kita tentu tahu bahwa di Mesir kalangan habaib terlahir lewat jalur Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein dengan julukan Syarif (jamak: Asraf) yang tak lain merupakan cucu Rasulullah SAW putra Ali bin Abi Thalib. Di luar negeri Hijaz gelar Syarif diperuntukkan bagi keturan al Hasan sedangkan Sayyid (jamak: Sadah) juga melekat hanya kepada keturunan al Husein. Menurut L.W.C Van Den Berg barulah sekitar abad 11-14 di Hadramaut para Sayyid keturunan Hasanain itu diberi gelar Habib (jamak: habaib) sedangkan perempuan Hababah. Sekadar catatan menurut Habib Zein bin Smith ketua Rabithah Alawiyah tidak semua Sayyid itu bisa digelari habib karena gelar habib itu sebenarnya sesuai dengan kesepakatan yang ketat dalam sebuah organisasi. Singkatnya para keturunan Hasanain itu berkembang termasuk ke Indonesia lewat nasab Sayyid Ali Zainal Abidin.

Lalu kapan masuknya habaib ke Indramayu? singkatnya yaitu kita perlu memahami bahwa sebelum abad XVIII orang-orang keturunan Arab tentu sudah mendiami wilayah Nusantara. Hal itu juga yang menjadi teori bahwa dalam catatan Arya Cirebon (1720) yang dikutip Shaleh (2018) mengatakan bahwa ayah Sunan Gunung Djati merupakan raja Mesir keturunan Arab yang bernama Sayyid Abdullah sedangkan ibunya Nyimas Rara Santang adik dari Walangsungsang yang tak lain putri Prabu Siliwangi. Tidak hanya itu Sunan Gunung Djati yang lahir di Makah 1448 M nama kecilnya adalah Syarif Hidayatullah. Hal inilah yang nantinya bersinggungan antara Cerbon dan Dermayu.

Perlu diketahui pula bahwa secara umum di Indonesia telah dihuni oleh berbagai suku bangsa hal itu dibuktikan dengan adanya Pecinan (daerah etnis Tionghoa), Banjar (daerah etnis Arab) dll, termasuk peranakan Arab yang mendiami wilayah Cirebon. Pada tahun 1845 koloni Arab yang ada di Cirebon semakin besar hingga tahun 1872 koloni tersebut memisahkan diri sebagian ke Indramayu nah, mulai sejak itulah keturunan Arab berkembang mendiami wilayah ini.

Dalam penelitian Shaleh Afif (2018) setidaknya ada 4 gelombang saya menyebutnya teori masuknya habaib ke Indramayu. Dari 4 gelombang itulah mayoritas kalangan Hadharim (berasal dari Hadramaut Yaman) dengan tujuan berdagang atau berdakwah. Gelombang pertama, ditandai dengan adanya marga Ba'alwi dan Shihab sekitar abad 12 di Siak, lalu sekitar abad 15 di akhir keruntuhan Majapahit ternyata warga keturunan Arab sudah banyak mendiami wilayah tertentu di Jawa. Gelombang kedua, sekitar abad 18 marga Assegaf, Al-Habsyi, Al-Hadad, Alaydrus, Al-Athas, Al-Jufri, Syihab, Syahab, Jamalulai, Al-Qodri, Basyaiban, dan Yahya datang utamanya ke wilayah Cirebon dan bahkan ada yang menikah dengan salah satu putri kesultanan Cirebon. Gelombang ketiga, pada catatan Van den berg dalam Le Hadralmaout Et Les Colonies Arabs Dans i”Archipel Indiem (1889), menyebutkan bahwa orang Hadramaut non habaib atau yang disebut Ghabil sudah menetap di pulau Jawa pada tahun 1820 dengan tujuan lebih banyak ke sosial ekonomi. Gelombang keempat, karena konflik kesultanan Al-Katsiri dan Al-Quayt sekitar tahun 1930 kalangan Hadharim semakin banyak yang bermigrasi ke Indonesia dan salah satunya ke Cirebon.

Jauh dari itu di akhir abad 19 karena konflik kependudukan yang di buat Belanda (Wijken Stelse) berakhir maka banyak dari keturunan Arab tersebut berpencar mencari wilayah tersendiri salah satunya ada di daerah Kwitang, Krukut, Tanah Abang hingga Cirebon dan Indramayu. Perlu dicatat pula bahwa karena koloni Arab Cirebon dan Indramayu berpisah maka Belanda menerapkan sistem pemimpin dan di antara yang pernah menjadi pemimpin orang Arab di Indramayu adalah Syekh ali bin Ambarak bin Doam hingga 1896 dan Sayyid Hussein bin Abdul Kadir Alaydrus hingga 1904.

Pada tahun 1952 Habib Umar bin Toha bin Yahya (Buyut Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan) memerintahkan Habib Ali bin Yahya Cirebon (beristri orang Wanguk) untuk berdakwah di wilayah Indramayu terutama wilayah Haurgeulis, Bugel sampai Kroya Sukaslamet hingga tahun 1996. Sebelum Habib Umar bin Toha bin Yahya, Indramayu juga sudah disinggahi dakwah Islam melalui Habib Muhammad Abdurrahman Assegaf yang makamnya ada di Desa Sindang Kecamatan Sindang di samping Masjid Madaniah. Ada juga Habib Hasan Alaydrus yang makamnya di daerah Pulau Biawak.

Dari sejarah singkat inilah kita menjadi belajar bahwa Islam masuk ke Indramayu selain lewat tangan-tangan Walisongo juga melalui para guru dan habaib. Dari sanalah kini habaib tersebar di wilayah Indramayu terutama di Jatibarang, Kandanghaur, Losarang, Sindang dan Haurgeulis. Sekedar refleksi kebanyakan habaib masuk ke wilayah ini lewat jalur pesisir mungkin bisa dibuktikan dengan adanya makam para buyut mereka yang ada di daerah tersebut. Selanjutnya kita menduga keturunan Arab yang ada di Haurgeulis juga tidak bisa lepas dari persinggungan sejarah ini. Mari merawat sejarah dengan menuliskanya.

*Artikel ini diolah dari berbagai sumber utamanya al Tsaqafa: Jurnal Peradaban Islam Vol.15 No.2 2018 dengan judul "Sejarah Masuknya Habaib ke Indramayu" tulisan Shaleh Afif.

the woks Institute l rumah peradaban 17/5/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde