Langsung ke konten utama

Meraba Sistem Pendidikan Nasional Kita




Woks

Kita sudah tiba lagi di tanggal 2 Mei yang diperingati tiap tahunnya sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Tentu setiap tahun itu pula selain upacara kita juga menyimak pidato presiden serta harapan masyarakat yang belum terwujud. Masalah di tubuh pendidikan kita tentu masih sangat banyak bahkan hingga hari ini kita masih berjuang melawan hegemoni teknologi dan pandemi. Lantas bagaimana ke depanya apakah kita loyo? tentu tidak. Kita masih punya harapan untuk diwujudkan dalam membenahi sistem pendidikan kita.

Dulu di tahun 1936 dalam polemik kebudayaan padahal Ki Hadjar Dewantara bersama Dr Suetomo pernah berkata bahwa sistem pendidikan yang cocok bagi bangsa ini adalah pesantren. Hal itu dituturkan oleh sejarawan yang baru saja berpulang KH. Agus Sunyoto, kata beliau sistem itu penting terlepas apa lembaga pendidikanya. Mengapa pesantren belum bisa diadopsi ke dalam kurikulum pendidikan kita karena kementrian masih mewadahi sistem pendidikan peninggalan Belanda itu.

Kita tentu tahu di balik mengapa pesantren sulit diterima secara nasional karena dulu pernah ada kampanye oleh Belanda bahwa jika pesantren yang menjadi pendidikan nasional maka bisa mengancam eksistensi mereka salah satunya Taman Siswa yang didirikan Ki Hadjar Dewantara. Masih menurut KH. Agus Sunyoto bahwa salah satu propaganda Belanda yaitu lewat tulisan Sutan Takdir Alisjahbana melalui lembaga penerbitan Balai Pustaka. Kata Sutan pesantren itu kuno dan mengandung budaya primitif, tempatnya orang-orang bodoh hingga hari ini pernyataan itulah yang menjadi salah satu stereotip bahwa pesantren itu terbelakang.

Sebenarnya pernyataan itu jelas salahnya, justru pesantren sejak lama telah mendidik santrinya untuk berfikir maju. Walaupun dalam hal kajian pesantren masih didominasi turats akan tetapi itu justru sebagai cara membendung modernisasi yang kian hari malah mengikis jatidiri. Padahal pesantren adalah sistem pendidikan modern salah satu cirinya ialah berpikir liberal dan pragmatif. Santri boleh berdebat dalam forum bahtsul masail atau misalnya kita lihat ragam hukum dalam ilmu fikih yang cenderung pragmatis. Tapi berbeda dengan sekolah formal yang mendidik siswa secara dogmatis doktrinal. Maka nampak sekali perbedaan antara pesantren dan sekolah formal.

Problem yang selama ini kita hadapi selain harus beradaptasi dengan nuansa baru di era pandemi tentu pendidikan kita masih mengalami stagnasi dengan belum mampunya tatap muka padahal sejak lama pesantren menjadi alternatif sebagai sistem pendidikan yang masih beroperasi. Merumahkan peserta didik tentu bukan solusi utama akan tetapi pesantren telah membuat sistem pawiyatan selama 24 jam dalam satu kompleks telah sekian lama. Belum lagi tantangan terhadap media sosial masih kita hadapi. Hal itu yang menjadikan minat baca atau kemampuan berliterasi siswa kita sangat rendah. Hal itu pula yang menjadikan nalar kritis menjadi tumpul dalam memahami pengetahuan yang ada.

Sebenarnya minat baca siswa kita tinggi cuma akses dan ketersediaan buku masih mengalami kriris. Belum lagi role model sebagai juru tiru masih sangat minim sehingga anak kehilangan sosok teladan. Bukankah selama ini sekolah adalah tempat bermain dan belajar yang tanpa paksaan seharusnya, akan tetapi faktanya tidak demikian. Jika saat ini kita menggemborkan merdeka belajar seharusnya sistem ala Taman Siswa sudah diterapkan mestinya. Karena Ki Hadjar Dewantara melihat bahwa Taman Siswa merupakan kolaborasi antara sistem pesantren dan lembaga pendidikan. Maka dari itu jika kita ingin menuju merdeka belajar ya seharusnya kita gali lagi sistem pendidikan ala Ki Hadjar tersebut.

Atau jangan-jangan kita dengan PDnya menganggap bahwa merdeka belajar adalah anak diberi keluasaan untuk belajar di rumah atau diberi pilihan untuk mengerjakan mata pelajaran pilihan. Jika demikian tentu pendidikan kita akan tercerabut dari akarnya. Termasuk sejak lama pendidikan kita hanya mencetak the class man alias manusia kelas yang tidak tau dunia luar selain teori dan teori. Hal ini pula yang dulu bersama Ki Hadjar, Dr Soetomo mengkritik sistem pendidikan formal sebagai sekolah yang hanya mencetak kuli dengan ijazah sebagai andalanya.

Satu hal lagi yang menarik ternyata selama ini masalah siswa dan gadget sudah tidak bisa dipisahkan. Bahkan canggihnya siswa dengan gadgetnya lebih mengalahkan orang tuanya. Sehingga gadget dan game menjadi problem vital era modern ini. Anak-anak kecil sudah sangat faham tentang dunia gadget ketimbang pelajaran dan pengetahuan lebih-lebih ilmu agama. Tapi jika kita lihat apakah di pesantren boleh membawa hp? tentu sangat minim sekali santri berinteraksi dengan hp. Mereka hanya diperbolehkan sesekali saja itu pun hanya ketika ada keperluan selebihnya pesantren sangat protektif terhadap gangungan yang menghilangkan fokus belajar itu. Lantas jika demikian mengapa kita masih ragu dengan keberadaan pesantren.

Saat ini pesantren telah terbuka dengan perkembangan zaman bahkan hak itu berkembang sejak lama contohnya penerimaan ilmu umum ketika KH. Wahid Hasyim menjadi kepala sekolah di Tebuireng. Bisa jadi pesantren sangat akomodatif karena mengamalkan kalam "al insan abnau zaman" bahwa manusia itu anaknya waktu artinya segala sesuatu disesuaikan dengan sesuatu hal yang dibutuhkan sesuai zamanya. Semoga saja ke depan kita semakin sadar tentang sistem pendidikan melalui fakta sejarah atau mungkin yang diresahkan oleh KH. Agus Sunyoto yaitu sejarah kita semakin banyak yang dikaburkan.

*Selamat memperingati hari pendidikan nasional 2 mei 2021.
*Alfatihah untuk Ki Hadjar Dewantara dan seluruh orang yang terlibat dalam pendirian bangsa ini.

the woks Institute l rumah peradaban

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde